JAKARTA (Panjimas.com) – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membantah akan menghapus pelajaran agama dalam program delapan jam belajar di sekolah dari Senin hingga Jumat pada tahun ajaran baru Juli 2017.
“Upaya untuk meniadakan pendidikan agama tidak ada dalam agenda reformasi sekolah sesuai arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy,” ungkap Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (Ka BKLM) Ari Santoso dalam siaran persnya.
Belakangan ini beredarnya pemberitaan yang menyebutkan bahwa Kemendikbud akan meniadakan Pendidikan Agama di sekolah. “Tidak benar, jika Mendikbud akan menghapus pelajaran agama dalam program delapan jam belajar di sekolah,” ujar Ari.
Menurutnya, sekolah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan karakter yang sesuai nilai karakter utama religiusitas atau keagamaan. Hal ini kata dia sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 tahun 2017.
Mendikbud mencontohkan penerapan penguatan pendidikan karakter yang dilakukan beberapa kabupaten seperti Kabupaten Siak yang memberlakukan pola sekolah sampai pukul 12 lalu dilanjutkan dengan belajar agama bersama para ustaz. Mendikbud juga menyampaikan pola yang diterapkan Kabupaten Pasuruan. Seusai sekolah, siswa belajar agama di madrasah diniyah.
Dia menilai pernyataan Mendikbud sudah sesuai Pasal 5 ayat 6 dan ayat 7 Permendikbud tentang Hari Sekolah yang mendorong penguatan karakter religius melalui kegiatan ekstrakurikuler. “Termasuk di dalamnya kegiatan di madrasah diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, retreat, katekisasi, baca tulis Alquran dan kitab suci lainnya,” terangnya.
“Justru pendidikan keagamaan yang selama ini dirasa kurang dalam jam pelajaran pendidikan agama akan semakin diperkuat melalui kegiatan ekstrakurikuler,” disampaikan Ari Santoso usai mengikuti Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan dengan Unit Pelaksana Teknis di kantor Kemendikbud, Jakarta, Selasa sore (13/6).
Dikritisi MUI
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkritisi munculnya polemik penghapusan pendidikan agama di sekolah. Alasan penghapusan pendidikan agama karena di rapor siswa akan diambil dari pendidikan di madrasah diniyah, masjid, pura, atau gereja.
Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa’adi menilai gagasan tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional khususnya Pasal 12 (1) butir a. UU tersebut mengamanatkan, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Dia menuturkan, dalam UU Sisdiknas ditegaskan bahwa kewajiban memberikan pendidikan agama itu pada setiap Satuan Pendidikan. Pengertian Satuan Pendidikan dalam UU ini, kata dia sebagaimana tertulis dalam ketentuan umum adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
Dia menambahkan, hak siswa mendapat pendidikan agama adalah hak yang melekat pada setiap siswa, baik yang belajar di jalur formal, nonformal maupun informal. Menurutnya, pihak sekolah sebagai pengelola pendidikan jalur formal wajib memberikan pendidikan agama.
“MUI sekali lagi mohon kepada Mendikbud untuk lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan apalagi menyangkut hal yang sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan kegaduhan,” ucapnya.
Dia menuturkan, banyak masalah pendidikan yang belum tertangani dengan baik. Misalnya masalah sarana pendidikan, tenaga kependidikan, masalah ujian akhir sekolah, hingga pelaksanaan kurikulum 2013 yang sampai saat ini belum tuntas. “Lebih baik Pak Menteri fokus bekerja menyiapkan anak didik lebih berprestasi. Daripada terjebak pada polemik yang tidak produktif,” imbuhnya. (desastian)