YOGYAKARTA (Panjimas.com) – Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mengaku keberatan dengan langkah Presiden Jokowi yang menetapkan hari lahirnya Pancasila sekaligus hari libur nasional pada 1 Juni.
Untuk itu, MMI merasa perlu menyampaikan surat ajakan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat/ Dewan Perwakilan Rakyat (MPR/DPR RI) untuk berusaha mencapai kata sepakat dalam Bahas Nasional mengenai rumusan pemahaman Pancasila sebelum menindaklanjuti rekomendasi tersebut.
Ustadz Shabari Syakur, Sekjen MMI meyakini Presiden memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa yang dianggap anti Pancasila sesuai keinginan pemerintah. Hal ini akan berbahaya jika dilingkungan pemerintah adalah orang-orang yang memusuhi Islam.
“Karena MPR dan DPR itu memiliki kapasitas dan kewenangan untuk membuat penjelasan tentang falsafah negara, bukan hanya eksekutif (Presiden) sebagaimana dulu pada saat Orde lama dan orde baru. Peran Presiden sangat sentral menentukan siapa yang dianggap anti Pancasila sesuai dengan keinginan mereka,” kata Ustadz Shabari pada Panjimas.com, Senin (12/6/2017).
Untuk itu, Ustadz Shabari mengusulkan seharusnya sebelum menentukan langkah penetapan tersebut, Presiden Jokowi mengajak dan melibatkan pakar, ahli dan tokoh agama duduk bersama bahas Nasional.
“Mestinya MPR memberikan rambu-rambu dan kaidah tiap sila dalam Pancasila itu, maksudnya apa dan bagaimana. Dengan cara melibatkan pakar, ahli dan tokoh agama,” imbuhnya.
Berikut isi Surat Appeal MMI yang di tujukan kepada MPD/DPR RI:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Paska Presiden Joko Widodo menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila sekaligus hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016. Tahun 2017 menjadi tahun pertama secara resmi Pemerintah memperingati hari lahir Pancasila dengan menyelenggarakan Pekan Pancasila mulai 29 Mei sampai dengan 4 Juni 2017. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno menjelaskan, Pekan Pancasila tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperdalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila.
“Tujuannya untuk menguatkan dan memperkenalkan ulang dasar-dasar Pancasila, serta untuk menarik minat para generasi muda terhadap Pancasila sehingga diharapkan seluruh komponen bangsa Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Rabu (31/5).
Dalam rangka Pekan Pancasila ini MPR RI pun menyelenggarakan Konferensi Nasional bertema “Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, terkait arah kebijakan, kaidah pelaksanaan, dan upaya penegakan di Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu, 31 Mei 2017, yang menghasilkan pokok-pokok rekomendasi :
- Pancasila sebagai dasar negara, falsafah bangsa, serta sebagai jiwa bangsa dan negara merupakan sumber nilai dan sumber pembentukan norma etika (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila bagi bangsa Indonesia menjadi landasan, dasar, serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan kenegaraan.
Dalam kerangka itu, perlu dilakukan upaya bersama secara terencana, terukur, terarah, dan berkesinambungan untuk mendorong seluruh elemen bangsa Indonesia agar senantiasa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Bangsa Indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etika sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma etika tersebut bersumber pada Pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etika tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa yang pada prinsipnya merupakan penjabaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingah laku yang merupakan cerminan dari nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam kerangka itu, perlu dirumuskan kebijakan strategis yang memuat aturan dasar regulasi hukum dan tatanan praksis untuk mendorong pengejawantahan amanat Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa, yakni Etika Sosial dan Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, dan Etika Lingkungan, serta Ketetapan MPR lainnya. Serta diperlukan upaya yang terstruktur dan terorganisir untuk menyosialisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Ketetapan MPR tersebut kepada masyarakat luas.
- Ketentuan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kesepakatan bangsa Indonesia untuk senantiasa menerapkan seluruh kebijakan dan perilaku negara berdasarkan pada ketentuan hukum dan konstitusi.
Kedudukan sistem etika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tatanan hukum haruslah ditopang dengan sistem etika publik yang baik, serta mengakar kuat dalam pranata-pranata kenegaraan. Pembenahan sistem hukum melalui penguatan sistem etika, etika materiil, dan etika formil menjadi bagian yang penting dalam upaya mewujudkan negara Indonesia sebagai negara hukum.
Dalam kerangka itu, diperlukan upaya-upaya untuk melakukan integrasi sistem kode etik dan mengkonstruksikan struktur etika dalam jabatan-jabatan publik, baik di lingkungan Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, maupun organisasi-organisasi profesi lainnya dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pokok-pokok rekomendasi di atas, Majelis Mujahidin sebagai institusi penegakan Syariat Islam di lembaga pemerintahan secara formal konstitusional, merasa perlu menyampaikan appeal sekaligus ajakan kepada lembaga tinggi negara MPR dan DPR RI untuk berusaha mencapai kata sepakat dalam Bahas Nasional mengenai rumusan pemahaman Pancasila sebelum menindaklanjuti rekomendasi di atas. Mengingat sepanjang sejarah pemerintahan di Indonesia, Pancasila sebagai falsafah negara (philosofische gronslag) yang seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa justru menjadi sumber kemelut terus menerus. Hal ini disebabkan akibat pemahaman dan doktrin Pancasila dengan karakter berbeda-beda sesuai dengan arah kebijakan politik pemerintahan cq. Presiden RI pada masanya. Sebagai milik bersama bangsa Indonesia, bukan milik satu golongan, kelompok, partai politik dan etnis tertentu, maka diperlukan perumusan pemahaman Pancasila secara konprehensif, melingkupi dan menyeluruh sehingga diterima oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia.
Untuk itu, Majelis Mujahidin mengajak seluruh bangsa Indonesia, utamanya Pemerintah Cq. Lembaga-lembaga tinggi negara untuk mereview kembali perjalanan Pancasila di sepanjang sejarah Indonesia merdeka, sehingga diperoleh rumusan final dan konstitusional sehingga tidak menjadikan rentan sebagai alat politik pemerintah melakukan fait accompli terhadap pihak-pihak tertentu yang dianggap sebagai anti Pancasila di sepanjang perjalanan bangsa dan negara Indonesia nantinya.
Bersama ini kami lampirkan tulisan Kemelut Seputar Pancasila Sepanjang Pemerintahan Indonesia sebagai bahan masukan pembahasan selanjutnya. Demikian surat ini kami sampaikan sebagai kontribusi mencari solusi konstitusioanl terhadap sengkarut kehidupan berbangsa dan bernegara berkenaan dengan falsafah negara Pancasila. Kami berharap MPR, DPR dan DPD RI memberikan respon positif terhadap appeal dan ajakan ini. Kami menunggu konfirmasinya, atas perkenannya kami ucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 12 Ramadhan 1438 H/7 Juni 2017
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
[SY]