YANGOON, (Panjimas.com) – Human Rights Watch, sebuah kelompok hak asasi manusia terkemuka yang berbasis di New York, pada hari Senin (05/06) menyerukan agar pemerintah Myanmar untuk segera bergerak melindungi umat Islam yang menghadapi ancaman terhadap hak-hak kebebasan bergama.
Kepolisian Yangon baru-baru ini menahan 3 pria Muslim yang pekan lalu menggalang aksi shalat di jalanan di kota Yangon, untuk memprotes penutupan 2 Madrasah Islam, sehingga mengurangi jumlah tempat ibadah bagi umat Islam selama bulan suci Ramadhan.
Otoritas Administratif setempat juga memperingatkan umat Islam untuk tidak melakukan aksi sholat tersebut, dengan mengklaim bahwa aksi umat Islam mengancam stabilitas dan peraturan hukum.
Pada hari Senin (05/06), Human Rights Watch dalam sebuah pernyataan, menyebut langkah-langkah ini adalah “bukti lebih lanjut tentang kegagalan pemerintah untuk melindungi kebebasan beragama kelompok minoritas di Myanmar.”
“Tindakan-tindakan oleh pejabat lokal ini adalah sebuah kemarahan yang harus segera ditolak oleh para pemimpin senior di Departemen Administrasi Umum, atau gagal dalam hal itu, Menteri Dalam Negeri,” kata Phil Robertson, Direktur Human Rights Watch Asia.
Robertson menambahkan bahwa Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, harus terlibat untuk melindungi kebebasan hati nurani dan agama jika Kementerian Dalam Negeri yang dikuasai militer gagal melakukannya.
“Kaum beragama tidak boleh diancam atau dikenai hukuman pidana hanya karena menjalankan hak fundamental mereka untuk mengamati dan menjalankan agama mereka,”tegasnya.
Penduduk Muslim Meikhtila, sebuah kota kecil di wilayah Mandalay Tengah yang mengalami kekerasan anti-Muslim pada tahun 2013, menghadapi tantangan serupa, media setempat melaporkan pada hari Ahad (04/06).
Menurut surat kabar Voice, pemerintah daerah telah melarang umat Islam untuk mengadakan sholat berjamaah selama Ramadan di 3 tempat di perempatan Thiri Mingalar.
Pemerintah setempat mengatakan bahwa berkumpul di bangunan non-religius seperti rumah adalah bentuk tindakan ilegal dan dapat menimbulkan masalah.
4 tahun kemudian, hanya 5 dari 13 Masjid yang ditutup oleh pihak berwenang sebeluymnya pada tahun 2013, yang kini telah dibuka kembali, mengutip laporan Voice.
HRW mendesak pemerintah Myanmar untuk mencabut undang-undang yang diskriminatif yang sering diterapkan pada komunitas agama minoritas.
“Kendati, peraturan diskriminatif yang digunakan untuk mencegah pembangunan atau perbaikan struktur keagamaan, seperti Masjid dan Gereja Kristen, harus segera dicabut,” kata Robertson.
“Daw Aung San Suu Kyi dan pemerintah pimpinan NLD harus menyadari bahwa dunia sedang melihat bagaimana mereka menangani situasi yang sangat mengkhawatirkan ini, dan tidak akan menerima alasan atau kelambanan.”
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar?.
Sholat Berjama’ah Dilarang
Sebelumnya karena kekhawatiran akan terjadinya kekerasan lebih lanjut, 2 sekolah Islam di Tharkayta, Yangon Myanmar, terpaksa ditutup Jumat malam (28/04), namun hingga Juni, 2 sekolah Islam tersebut tetap ditutup meskipun pihak berwenang mengatakan bahwa penutupan itu hanya sementara.
Menurut laporan Anadolu, Tin Shwe, Kepala Madrasah, mengatakan bahwa pihak berwenang juga melarang penduduk Muslim untuk beribadah di 6 sekolah lainnya di Kotapraja Thakayta, tanpa memberikan alasan yang jelas dan tepat.
“Kami meminta mereka untuk mengizinkan kami beribadah di sekolah-sekolah ini selama bulan Ramadhan. Tapi permohonan itu tidak terjawab,” katanya pada hari Rabu (31/05).
Shwe menambahkan bahwa umat Islam setempat melakukan sholat di tempat masing-masing seperti rumah dan toko sejak larangan tersebut.
“Ini bukan cara kami harus melakukan sholat, terutama di bulan Ramadhan,” kata Tin Shwe, Ia menambahkan Masjid terdekat berjarak sekitar 45 menit dengan berjalan kaki.
Min Naung, seorang warga Muslim berusia 32 tahun dari Thakayta, yang ikut dalam aksi unjuk rasa tersebut, mengatakan bahwa dia telah beribadah di sekolah tersebut sejak dirinya masih kecil.
“Ini adalah pertama kalinya kami tidak bisa berkumpul selama bulan Ramadhan,” katanya kepada Anadolu setelah melakukan aksi shalat di jalanan.
Ratusan Ektrimis Budha Myanmar Ancam Bakar 2 Madrasah
Penutupan 2 sekolah Islam ini dilakukan setelah sekelompok gerilyawan anti-Muslim mengklaim bahwa mereka akan beroperasi menyerang Masjid, kata seorang sumber polisi Sabtu (29/04), akhir April lalu.
Lebih dari 100 ektrimis buddha yang dipimpin oleh biksu ultra-nasionalis berkumpul pada hari Jumat malam (28/04) di Yangon’s Tharkayta Township, kelompok ektrimis itu memaksa pihak berwenang untuk menutup 2 Madrasah Muslim di daerah tersebut sesegera mungkin.
“Dua sekolah ditutup untuk sementara waktu” Jumat malam, kata seorang perwira senior di Kepolisian Yangon, yang berbicara secara anonim, dikutip dari Anadolu.
Polisi senior tersebut mengatakan bahwa keputusan tersebut dibuat setelah diadakan perundingan antara pemerintah daerah dan pemimpin Muslim setempat.
“Kami melakukannya tanpa ada keputusan pengadilan karena kami ingin mencegah konflik yang tidak perlu lebih lanjut,” pungkanya melalui sambungan telepon, Ia menambahkan bahwa polisi di tempat kejadian akhirnya membubarkan massa dengan damai.
Kawasan itu adalah tempat bagi sebuah Masjid dan 3 Madrasah Muslim yang telah beroperasi dengan izin resmi selama beberapa dekade, kata Tin Shwe, salah satu pemimpin madrasah yang ditutup.
Massa diyakini telah siap untuk menghancurkan atau membakar sekolah kecuali pihak berwenang mengabulkan tuntutan mereka, tandasnya Sabtu (29/04).
Tin Shwe, kepala salah satu madrasah yang ditutup di daerah tersebut, mengatakan bahwa gerombolan ektirmis Buddha tersebut diyakini telah siap untuk menghancurkan atau membakar sekolah-sekolah tersebut kecuali jika pemerintah mengabulkan tuntutan mereka.
Phil Robertson mengatakan: “Para pemimpin Burma tidak dapat duduk santai dan menunggu kekerasan lebih lanjut terhadap kelompok minoritas.”
“Mereka perlu mengambil langkah proaktif untuk mengatasi ketegangan dan sengketa agama sehingga semua orang dapat mempraktikkan agama mereka dengan damai dan aman,” tandasnya.
Gerakan anti-Muslim telah meningkat di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, sejak pecahnya kekerasan komunal di negara bagian Rakhine bagian barat pada tahun 2012.[IZ]