JAKARTA (Panjimas.com) – Blokade yang dilakukan enam negara Arab kepada Qatar membuat kepanikan masyarakat. Mereka berbondong-bondong mendatangi supermarket dan memenuhi keranjang belanja mereka dengan beragam kebutuhan sehari-hari. Permintaan agar tidak panik yang dilayangkan pemerintah sepertinya tidak berlaku banyak.
Masyarakat memang berhak panik. Pasalnya, satu-satunya tetangga darat Qatar adalah Arab Saudi dan mereka bergantung penuh dari negara Teluk untuk impor makanan. Enam negara tersebut, Bahrain, Arab Saudi, Mesir, UEA, Yaman, dan
pemerintah Libya wilayah timur, menuduh Qatar mendukung ekstrimis.
Kejadian kali ini merupakan krisis diplomatik terbesar di kawasan Teluk dalam beberapa tahun belakangan. Dilansir media-media lokal, hampir semua supermarket di Kota Doha, Qatar, penuh sesak pembeli. Mereka mulai memenuhi supermarket selang lima jam sejak enam negara itu menghentikan hubungan diplomatik dengan kerajaan tersebut.
Para pembeli memenuhi keranjang dengan makanan pokok seperti susu, beras, dan ayam. Salah seorang konsumen adalah Azir, warga Sri Langka yang tinggal di Doha. Azir mengatakan dia sedang tidur ketika keluarganya meneleponnya dari Sri Langka setelah mereka melihat tayangan TV. ”Saya belanja karena krisis ini,” kata Azir yang memenuhi keranjang belanjanya dengan popok sekali pakai untuk bayinya yang berusia 18 bulan.
Qatar mengimpor ayam berkualitas dari Arab. Dengan blokir ini, mereka kelihatannya harus puas dengan ayam dari Oman yang dinilai tidak terlalu baik. ”Ini lingkaran kepanikan dan saya seperti harus memborong pasta,” kata Ernest dari Lebanon. Ernest belanja bersama keluarga kecilnya dan membawa dua kereta belanjaan.
Blokir ini seperti akan berpotensi mengganggu industri jasa. Termasuk pariwisata. Pasalnya, warga Arab Saudi umumnya memenuhi Qatar saat liburan Idul Fitri. ”Ini kabar-kabar buruk. Semua orang Saudi biasanya datang ke sini saat Idul Fitri. Tapi sekarang? Kita tidak tahu lagi,” kata Raihan.
Mata Uang Anjlok
Dampak pemutusan hubungan diplomatik atas Qatar oleh enam negara Timur Tengah langsung terasa bagi mata uang riyal Qatar. Sebab, sebagian besar bank di Arab Saudi, UEA, dan Bahrain mulai menghentikan sementara pengeluaran surat kredit serta kesepakatan dengan bank-bank di Qatar. Mereka menunggu instruksi dari bank sentral di negara masing-masing.
Sejauh ini baru bank sentral di Saudi yang memberikan saran agar tak bertransaksi dulu dengan bank-bank di Qatar. Kemarin nilai mata uang riyal Qatar anjlok menjadi 3,65 per dolar Amerika Serikat (USD). Nilai tersebut merupakan yang terendah sejak Juni 2016. Namun, pemerintah Qatar tidak terlalu khawatir.
Pemerintah Qatar masih memiliki kemampuan finansial yang kuat untuk melindungi bank-banknya. Ekspor gas Qatar bernilai miliaran dolar AS per bulan dan mereka memiliki aset yang diperkirakan senilai USD 335 miliar atau setara dengan Rp 4.451,6 triliun.
Krisis finansial di bank dan tekanan mata uang hanya sebagian kecil dari efek domino pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan enam negara itu. Mulai kemarin, seluruh Bahrain, Saudi, Mesir, dan UEA resmi menutup jalur darat, laut, serta udara masing-masing untuk seluruh transportasi dari Qatar.
Maskapai Qatar Airways mengumumkan kepada para penumpang yang gagal terbang ke Bahrain, Saudi, Mesir, dan UEA pada tanggal 5–6 Juni agar menjadwal ulang penerbangan masing-masing. Mereka diberi waktu 30 hari, terhitung sejak tanggal keberangkatan di tiket masing-masing.
Sementara itu, Emir Kuwait Sheikh Sabah Al Ahmad Al Jaber Al Sabah kemarin bertolak ke Saudi. Dia akan menemui Raja Salman untuk membahas masalah Qatar.
Kuwait dan Oman adalah dua negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk yang memilih untuk tak memutuskan hubungan dengan Qatar. Emir Kuwait akan menawarkan diri untuk menjadi mediator. Sebelumnya, Sheikh Sabah telah berhasil memengaruhi Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani agar tidak membuat pernyataan secara nasional pada Senin (5/6). Langkah tersebut ditakutkan hanya akan membuat situasi kian panas.
Qatar juga sudah menyatakan diri siap berdialog dan mau dimediasi oleh Kuwait maupun Turki. ”Kami yakin semua masalah bisa diselesaikan melalui diskusi dan saling menghargai,” ujar Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani.
Tapi, tentu saja itu tidak akan mudah. Menteri Luar Negeri UEA Anwar Gargash menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengubah sikap, kecuali Qatar sudah memiliki rencana jelas untuk memperbaiki kebijakan luar negerinya. (desastian)