JAKARTA (Panjimas.com) – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan rekomendasi kepada pemerintah, masyarakat, ulama dan tokoh agama terkait Fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial yang belum lama ini baru saja diterbitkan di Jakarta.
Rekomendasi pertama, Pemerintah dan DPR-RI perlu merumuskan peraturan perundangundangan untuk mencegah konten informasi yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan, semangat persatuan dan nilai luhur kemanusiaan.
Kedua, masyarakat dan pemangku kebijakan harus memastikan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan.
Ketiga, Pemerintah perlu meningkatkan upaya mengedukasi masyarakat untuk membangun literasi penggunaan media digital, khususnya media sosial dan membangun kesadaran serta tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat berperadaban.
Rekomendasi keempat, para Ulama dan tokoh agama harus terus mensosialisasikan penggunaan media sosial secara bertanggung jawab dengan mendorong pemanfaatannya untuk kemaslahatan umat dan mencegah
mafsadat yang ditimbulkan.
Kelima, masyarakat perlu terlibat secara lebih luas dalam memanfaatkan
media sosial untuk kemaslahatan umum. Begitu juga Pemerintah perlu memberikan teladan untuk menyampaikan informasi yang benar, bermanfaat, dan jujur kepada masyarakat agar melahirkan kepercayaan dari publik.
“Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Kami himbau setiap muslim agar menyebarluaskan fatwa ini,” kata Sekretaris Komisi Fatwa DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA.
Pedoman Penyebaran Informasi
Dalam fatwanya, MUI memberikan pedoman penyebaran informasi melalui sosial media. Berikut pedomannya: Konten atau informasi yang akan disebarkan kepada khalayak umum haruslah benar, baik dari sisi isi, sumber, waktu dan tempat, latar belakang serta konteks informasi disampaikan.
Kemudian, bermanfaat, baik bagi diri penyebar maupun bagi orang atau kelompok yang akan menerima informasi tersebut. Bersifat umum, yaitu informasi tersebut cocok dan layak diketahui oleh masyarakat dari seluruh lapisan sesuai dengan keragaman orang atau khalayak yang akan menjadi target sebaran informasi.
Tepat waktu dan tempat, yaitu informasi yang akan disebar harus sesuai dengan waktu dan tempatnya karena informasi benar yang disampaikan pada waktu atau tempat yang berbeda bisa memiliki perbedaan makna.
Tepat konteks, informasi yang terkait dengan konteks tertentu tidak boleh dilepaskan dari konteksnya, terlebih ditempatkan pada konteks yang berbeda yang memiliki kemungkinan pengertian yang berbeda.
Memiliki hak, orang tersebut memiliki hak untuk penyebaran, tidak melanggar hak seperti hak kekayaan intelektual dan tidak melanggar hak privacy. Tidak boleh menyebarkan informasi yang berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis yang tidak layak sebar kepada khalayak.
Tidak boleh menyebarkan informasi untuk menutupi kesalahan, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.
Selanjutmya, tidak boleh menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke ranah publik, seperti ciuman suami istri dan pose foto tanpa menutup aurat.
Setiap orang yang memperoleh informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain tidak boleh menyebarkannya kepada khalayak, meski dengan alasan tabayyun.
Lalu, setiap orang yang mengetahui adanya penyebaran informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain harus melakukan pencegahan.
Pencegahan sebagaimana dimaksud adalah dengan cara mengingatkan penyebar secara tertutup, menghapus informasi, serta mengingkari tindakan yang tidak benar tersebut.
Orang yang bersalah telah menyebarkan informasi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis kepada khalayak, baik sengaja atau tidak tahu, harus bertaubat dengan meminta mapun kepada Allah (istighfar) serta meminta maaf kepada pihak yang dirugikan menyesali perbuatannya dan komitmen tidak akan mengulangi.(desastian)