JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam bermuamalah dengan sesama, baik di dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan, persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran, serta mengajak pada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Demikian disampaikan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat menerbitkan Fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. di Jakarta, belum lama ini.
“Karena itu, setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial harus meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan, mempererat persaudaraan, baik persaudaraan ke-Islaman, persaudaraan kebangsaan, maupun persaudaraan kemanusiaan,” kata Sekretaris Komisi Fatwa DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA.
Terpenting, kata Ni’am, adalah memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah.
Dalam Fatwa MUI, setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan. Juga haram melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
MUI juga mengharamkan publik menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup. Termasuk menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i.
“Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan waktunya. Memproduksi, menyebarkan atau membuat dapat diaksesnya konten atau informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.”
Selanjutnya, memproduksi, menyebarkan atau membuat dapat diaksesnya konten atau informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain atau khalayak hukumnya haram. Mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.
Memproduksi atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.
Menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.
Aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya. (desastian)