JAKARTA (Panjimas.com) – Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHMI) mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap ulama, ormas Islam, aktivis dan umat Islam, termasuk terhadap ajaran Islam dan simbol-simbolnya, khususnya yang secara telanjang dipertontonkan atas penetapan status tersangka Habib Rizq Syihab.
Demikian pernyataan sikap yang disampaikan Ketua Eksekutif Nasional KSHUMI, Chandra Purna Irawan,MH dalam siaran pers yang diterima Panjimas belum lama ini (1 Juni 2017).
Seperti diketahui Habib Rizieq Syihab (HRS) ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus pornografi terkait chat atau percakapan melaui sosial media dengan Firza Husein (FH), dijerat dengan Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 6 juncto Pasal 32 dan Pasal 9 juncto Pasal 35 UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Bukti yang digunakan oleh penyidik adalah chat yang diduga berkonten pornografi. Bukti foto dengan tampilan screenshot yang diduga merupakan percakapan antara HRS dan FH tersebut telah dibantah dengan tegas oleh yang bersangkutan dan dinyatakan merupakan rekayasa fitnah untuk menjatuhkan martabat dan membunuh karakter HRS.
Dalam pandangan Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHMI), penetapan HRS sebagai tersangka merupakan perbuatan melawan hukum. “Kami tidak menemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum atau dasar perbuatan yang menjadi akar jatuhnya status tersangka HRS. “Jika chatting itu dianggap sebagai tindak pidana, maka itu tidak ada dasar hukumnya karena chatting itu tidak masuk ke ranah publik.”
Terkait Chat WA, KSHMI mengatakan, jika chat yang dituduhkan polisi dilakukan dengan telepon genggam atau gadget pribadi, maka dalam hukum pidana itu tidak dilarang. Apapun isi chatting dan dengan siapapun itu, tidak ada masalah sejauh kedua belah pihak sama-sama menerima dan tidak menimbulkan permasalahan atau salah satu pihak merasa dirugikan.
Mengenai alasan pornografi, KSHMI melihat, konten pornografi jika berada di dalam ranah pribadi seseorang, dan tidak disebarluaskan, baik pada saat melakukan ataupun setelahnya dengan diawali merekam, maka tidak dapat dijerat hukum pidana apapun. Jika konten yang diduga pornografi itu berada di HP seseorang dan dibuka, maka yang salah adalah pihak yang membuka dan menuduh pornografi itu.
“Pemanggilan HRS hingga menjadi tersangka, berdasarkan alasan pertama, kedua dan ketiga diatas, maka jangankan jadi tersangka, dipanggil menjadi saksi saja HRS tidak layak. Hal itu bisa benar jika FH mengakui, sementara sejak awal FH dan HRS membantah hal tersebut,” ungkap Chandra Purna Irawan.
Soal alat Bukti dalam penetapan HRS sebagai tersangka, menurut KSHMI, kelengkapan syarat adanya bukti permulaan yang cukup untuk menjerat seorang saksi menjadi tersangka belum terpenuhi. Dalam hukum pidana, penetapan seseorang sebagai tersangka haruslah melalui prosedur dan tahapan yang itu sudah ada pengaturannya dengan minimal dua alat bukti yang sah, terakhir putusan MK harus disertai dengan legalitas cara memperolah alat bukti tersebut.
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, frasa “bukti”, “bukti permulaan”, “alat bukti”, dianggap sama dan dimaknai dengan minimal dua alat bukti. Dalam hal ini yang menjadi minimal dua alat bukti untuk dapat digunakan dalam penetapan tersangka harus diperoleh dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
Sementara putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUU-XIV/2016 dinyatakan, penyadapan yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh undang-undang adalah tidak dibenarkan, supaya tidak terjadi pelanggaran HAM sebagaimana telah dijamin UUD 1945.
Penyidik dalam hal ini telah menggunakan alat bukti rekaman yang diduga milik FH, dan foto percakapan yang diduga melibatkan HRS secara tidak sah (ilegal), maka telah nyata adanya pelanggaran terhadap due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut negara Indonesia.
Pesan untuk Pemerintah
KSHMI mengingatkan kepada Pemerintah untuk tidak menyalahgunakan amanah yang diembannya, seraya menginsyafi dengan sebenar-benarnya bahwa kesejahteraan rakyat adalah tujuan kekuasaan yang sejati.
Selanjutnya, KSHMI menyerukan kepada ulama, ormas Islam, aktivis Islam, umat Islam dan seluruh sarjana hukum muslim Indonesia untuk bersatu padu, bersinergi untuk membangun kekuatan dan soliditas dalam rangka memperjuangkan agama Islam agar menjadi rahmat bagi semesta alam.
“Kami melihat baahwa kondisi negara sedang dalam keadaan darurat hukum. Perlu untuk segera dan serta merta diambil tindakan kongkrit menyelamatkan negara dari upaya oknum dan sekelompok individu yang hendak menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan untuk merealisir tujuan politik dan kepentingannya. Negara telah bergeser dari rechtstaat (negara hukum) menjadi machtstaat (negara kekuasaan),” Chandra Purna.(desastian)