YANGOON, (Panjimas.com) – Umat Islam di kota terbesar Myanmar pada hari Rabu memprotes keras penutupan 2 Madrasah Islam, ditengah sedikitnya akses tempat untuk beribadah bagi muslim di bulan Ramadhan tahun ini.
Setelah bernegosiasi dengan para pemimpin Muslim setempat, Pemerintah lokal menutup 2 Madrasah di kota Yangon pada tanggal 28 April setelah sebuah gerombolan ekstrimis yang dipimpin oleh Biksu Buddha ultra-nasionalis menuntut penutupan sekolah-sekolah Islam di daerah tersebut.
Pada hari Rabu malam (31/05), sekitar 100 Muslim Yangon berkumpul di jalan di depan salah satu dari 2 Madrasah tersebut, untuk berdoa dan memprotes keras aksi penutupan pemerintah.
Sebelumnya karena kekhawatiran akan terjadinya kekerasan lebih lanjut, 2 sekolah Islam di Tharkayta, Yangon Myanmar, terpaksa ditutup Jumat malam (28/04), namun hingga Juni, 2 sekolah Islam tersebut tetap ditutup meskipun pihak berwenang mengatakan bahwa penutupan itu hanya sementara.
Menurut laporan Anadolu, Tin Shwe, Kepala Madrasah, mengatakan bahwa pihak berwenang juga melarang penduduk Muslim untuk beribadah di 6 sekolah lainnya di Kotapraja Thakayta, tanpa memberikan alasan yang jelas dan tepat.
“Kami meminta mereka untuk mengizinkan kami beribadah di sekolah-sekolah ini selama bulan Ramadhan. Tapi permohonan itu tidak terjawab,” katanya pada hari Rabu (31/05).
Shwe menambahkan bahwa umat Islam setempat melakukan sholat di tempat masing-masing seperti rumah dan toko sejak larangan tersebut.
“Ini bukan cara kami harus melakukan sholat, terutama di bulan Ramadhan,” kata Tin Shwe, Ia menambahkan Masjid terdekat berjarak sekitar 45 menit dengan berjalan kaki.
Min Naung, seorang warga Muslim berusia 32 tahun dari Thakayta, yang ikut dalam aksi unjuk rasa tersebut, mengatakan bahwa dia telah beribadah di sekolah tersebut sejak dirinya masih kecil.
“Ini adalah pertama kalinya kami tidak bisa berkumpul selama bulan Ramadhan,” katanya kepada Anadolu setelah melakukan aksi shalat di jalanan.
“Larangan itu membuat kami kaget,” pungkasnya.
Ratusan Ektrimis Budha Myanmar Ancam Bakar 2 Madrasah
Penutupan 2 sekolah Islam ini dilakukan setelah sekelompok gerilyawan anti-Muslim mengklaim bahwa mereka akan beroperasi menyerang Masjid, kata seorang sumber polisi Sabtu (29/04), akhir April lalu.
Lebih dari 100 ektrimis buddha yang dipimpin oleh biksu ultra-nasionalis berkumpul pada hari Jumat malam (28/04) di Yangon’s Tharkayta Township, kelompok ektrimis itu memaksa pihak berwenang untuk menutup 2 Madrasah Muslim di daerah tersebut sesegera mungkin.
“Dua sekolah ditutup untuk sementara waktu” Jumat malam, kata seorang perwira senior di Kepolisian Yangon, yang berbicara secara anonim, dikutip dari Anadolu.
Polisi senior tersebut mengatakan bahwa keputusan tersebut dibuat setelah diadakan perundingan antara pemerintah daerah dan pemimpin Muslim setempat.
“Kami melakukannya tanpa ada keputusan pengadilan karena kami ingin mencegah konflik yang tidak perlu lebih lanjut,” pungkanya melalui sambungan telepon, Ia menambahkan bahwa polisi di tempat kejadian akhirnya membubarkan massa dengan damai.
Kawasan itu adalah tempat bagi sebuah Masjid dan 3 Madrasah Muslim yang telah beroperasi dengan izin resmi selama beberapa dekade, kata Tin Shwe, salah satu pemimpin madrasah yang ditutup.
Massa diyakini telah siap untuk menghancurkan atau membakar sekolah kecuali pihak berwenang mengabulkan tuntutan mereka, tandasnya Sabtu (29/04).
HRW Desak Myanmar Buka Kembali 2 Madrasah Muslim di Tharkayta
Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York awal bulan Mei menyatakan penutupan tersebut adalah “kegagalan pemerintah terbaru dalam melindungi minoritas agama di negara tersebut.”
“Pemerintah harus segera mengembalikan penutupan ini, mengakhiri pembatasan terhadap praktik agama minoritas (Islam), dan menuntut kelompok ultra-nasionalis Buddha yang melanggar hukum atas nama agama,” tegas Wakil Direktur Human Rights Watch (HRW), Phil Robertson.
Seorang perwira senior di Kepolisian Yangon mengatakan kepada Anadolu pada 29 April bahwa sekolah-sekolah tersebut “ditutup sementara” dan “tanpa keputusan pengadilan untuk mencegah konflik yang tidak perlu selanjutnya”.
Tin Shwe, kepala salah satu madrasah yang ditutup di daerah tersebut, mengatakan bahwa gerombolan ektirmis Buddhatersebut diyakini telah siap untuk menghancurkan atau membakar sekolah-sekolah tersebut kecuali jika pemerintah mengabulkan tuntutan mereka.
Phil Robertson mengatakan: “Para pemimpin Burma tidak dapat duduk santai dan menunggu kekerasan lebih lanjut terhadap kelompok minoritas.”
“Mereka perlu mengambil langkah proaktif untuk mengatasi ketegangan dan sengketa agama sehingga semua orang dapat mempraktikkan agama mereka dengan damai dan aman,” tandasnya.
Gerakan anti-Muslim telah meningkat di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, sejak pecahnya kekerasan komunal di negara bagian Rakhine bagian barat pada tahun 2012.[IZ]