JAKARTA, (Panjimas.com) – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai keinginan Presiden Joko Widodo melibatkan TNI menangani terorisme bersama Polri dalam UU Revisi Terorisme hanya seperti kembali ke orde baru.
“Pengaturan pelibatan militer dalam revisi UU Terorisme hanya akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antar aktor pertahanan dan keamanan serta mengancam kehidupan demokrasi dan HAM seperti masa orde baru,” kata Al Araf, Direktur Imparsial selaku perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil di Kantor Imparsial, Tebet, Selasa (30/05).
Selain itu akan melanggar prinsip supremasi sipil dan dapat menarik militer kembali dalam ranah penegakan hukum sehingga dapat merusak mekanisme criminal justice sistem.
“Itu akan berlawanan dengan arus reformasi yang sudah menghasilkan capaian positif yaitu meletakkan militer sebagai alat pertahanan negara demi terciptanya tentara yang profersional,” ujarnya.
Menurutnya permasalah lain terkait keterlibatan TNI adalah minimnya mekanisme hukum yang akuntabel untuk menguji terhadap setiap upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dll) yang dilakukan untuk menjamin terpenuhnya HAM.
“Anggota TNI belum tunduk pada peradilan militer yang diragukan independensinya untuk menyelenggarakan peradilan yang adil,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berasal dari gabungan Lembaga Swadaya Masyarakat seperti, Imparsial, KontraS, ELSAM, HRWG, LBH Pers, Lesperssi, ICW, SETARA Institute, YLBHI, LBH Jakarta, ILR, ICJR, INFIS, Amnesty Internasional Indonesia, Transparency International Indonesia (TII), Federasi KontraS, dan Indonesia Legal Roundtable. [TM]