JAKARTA (Panjimas.com) – Wilayah yang sifatnya privacy dan bukan untuk konsumsi publik, termasuk percakapan via WhatsApp yang merupakan aplikasi massenger dua arah (bukan untuk publik), merupakan hak privacy setiap orang untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945.
Demikian dikatakan DR. M. Kapitra Ampera, SH.,MH selakuTim Kuasa Hukum M. Rizieq Shihab dalam keterangan pers yang diterima Panjimas, Selasa (30/5).
“Tindakan penyadapan yang dilakukan tanpa izin dan bukan oleh lembaga berwenang sesuai UU merupakan pelanggaran terhadap HAM, Rights of Privacy dan bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah dan melanggar Undang-Undang merupakan alat bukti yang tidak sah dan tidak dapat dijadikan dasar 2 alat bukti untuk menetapkan tersangka,” ungkap Kapitra.
Sistem pembuktian dalam pidana adalah untuk memastikan adanya perbuatan yang secara faktual melanggar undang-undang tentang suatu tindak pidana (factual guilt). Untuk dapat menunjuk seseorang bertanggungjawab atas hal itu (legal guilt), yang dikonstruksikan mulai dalam tahap penyidikan sampai dengan dinyatakan demikian dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
“Kekeliruan dalam sistem pembuktian inilah yang menyebabkan terampasnya Hak Asasi Manusia yang juga berlaku bagi tersangka,” tandas Kapitra.
Menurut Kapitra, dari segi materil perkara, penetapan tersangka atas Habib Rizieq juga tidak didasarkan pada aturan hukum yang sesuai sehingga tampak terlalu dipaksakan. Ia disangka atas dugaan melanggar Pasal 4 ayat 1 dan/atau Pasal 6 dan/atau Pasal 8 UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Pasal 29, Pasal 32, dan Pasal 34 tentang ketentuan pidana-nya).
“Pasal-pasal yang disangkakan kepada Habib Rizieq adalah ketentuan larangan atas perbuatan yang menyebarkan pornografi, yang sepatutnya disangkakan kepada penyebar isu dan rekayasa percakapan pornografi tersebut. Sehingga sangat tidak relevan mengapa Habib Rizieq ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran Undang-Undang Pornografi.”
Penyebar Chat Tidak Dicari
Disisi lain, pelaku penyebaran chat tersebut hingga kini tidak dicari keberadaannya oleh pihak kepolisian. Padahal tidak sulit untuk menemukan pelakukanya oleh karena Telepon Genggam milik Firza Husein telah disita pihak kepolisian dalam kasus berbeda pada tanggal 2 Desember 2016 yang pada akhirnya muncullah percakapan tersebut pada tanggal 29 Januari 2017.
“Baik dari segi Formil dan Materil, sangat tidak beralasan dan terlalu dipaksakan penetapan tersangka terhadap Habib Rizieq. Habib Rizieq seolah-olah telah menjadi target sehingga tanpa mendengarkan keterangannya sebagai saksi, penyidik langsung menetapkan sebagai tersangka,” kata Kapitra.
Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
“Terang dan jelas, bahwa penetapan tersangka atas Habib Rizieq merupakan suatu yang tidak didasari ketentuan hukum yang benar, melanggar prinsip due process of law, dan diduga didasari pada kehendak dan kepentingan oknum tertentu,” ucap Kapitra.
Sehingga penetapan tersangka terhadap Habib Rizieq tidak dilakukan secara proporsional dan profesional, karena tidak menunjukkan adanya korelasi antara tindak pidana yang disangkakan dengan bukti yang sah tentang alasan yang cukup tersangka diduga keras melakukan tindak pidana. (edys/des)