JAKARTA, (Panjimas.com) – Pasca serangan bom Melayu pekan lalu. Presiden Joko Widodo pada 29 Mei 2017 mengatakan perlunya pelibatan TNI dalam revisi UU tentang pemberantasan tindak terorisme.
Keterlibatan TNI diklaim Presiden untuk memudahkan dan memperkuat aparat dalam menangani permasalahan terorisme di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme tak perlu. Karena sebelum presiden menginstruksikan, perintahnya sudah ada dalam UU TNI.
“Dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 UU No 34/2004 tentang TNI sebenarnya sudah diatur,” kata Al Araf, Direktur Imparsial selaku perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil di Kantor Imparsial, Tebet, Selasa (30/05).
Dalam praktiknya, lanjutnya. TNI juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme sebagaimana dalam operasi perbantuan di Poso.
Menurutnya keterlibatan TNI dalam operasi terorisme sebagaimana diatur dalam UU TNI menjadi pilihan terakhir yang dapat digunakan Presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi.
“Terpenting dalam pelibatan TNI, Presiden perlu menjelaskan apa maksud dari keinginannya memasukkan TNI,” ujarnya.
Karena keterlibatan TNI tanpa aturan yang jelas, hanya menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara aktor pertahanan dan keamanan.
Sebagaimana diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berasal dari gabungan Lembaga Swadaya Masyarakat seperti, Imparsial, KontraS, ELSAM, HRWG, LBH Pers, Lesperssi, ICW, SETARA Institute, YLBHI, LBH Jakarta, ILR, ICJR, INFIS, Amnesty Internasional Indonesia, Transparency International Indonesia (TII), Federasi KontraS, dan Indonesia Legal Roundtable. [TM]