JAKARTA (Panjimas.com) – Forum Jurnalis Muslim (Forjim) mendukung organisasi kemasyarakatan memberi edukasi publik yang belakangan ini kerap menista dan menghina ulama, bahkan terhadap Islam. Jumlahnya pun kian hari semakin bertambah. Tentu, ini sangat memperihatinkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Forjim tidak setuju dengan istilah intimidasi ataupun kata kekerasan yang ditujukan kepada ormas kemasyarakatan untuk mengingatkan masyarakat agar tidak melanggar hukum dan jauh dari nilai-nilai kesantunan. Bukankah bangsa ini bangsa yang bermoral dan beradab?
“Tentu saja, kami sangat menghargai kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara. Namun, kebebasan jangan dimaknai sebagai bentuk sikap kebablasan tanpa batas,” kata Ketua Umum Forjim, Adhes Satria dalam pernyataan sikapnya.
Pasca dijatuhi vonis dua tahun penjara kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok atas ucapannya di Kepulauan Seribu, hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga. Tapi faktanya, hingga saat ini semakin banyak saja publik yang melontarkan fitnah keji, menghina ulama, dan menista agama tertentu.
Forjim sangat menyesalkan, jika ada wacana penghapusan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Terlebih, masih banyak orang ataupun golongan yang tidak menghormati agama dan ulama, baik secara langsung maupun tidak langsung.”Desakan penghapusan pasal penodaan agama tersebut, justru menimbulkan kekhawatiran munculnya sikap intoleransi terhadap umat beragama,” ujar Adhes, pria jebolan Institut Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Forjim tidak sepakat jika pasal tentang penodaan agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dihapus. “Pasal tersebut harus tetap ada untuk mencegah adanya konflik horizontal di masyarakat. Kita tidak ingin ada persoalan mengenai kebhinekaan atau saling menghina antar umat beragama. Semua pihak harus menjaga suasana tetap aman, damai dan kondusif,” kata Ketua Umum Forjim.
Sudah seharusnya, lanjutnya, pihak berwajib menindak tegas pelaku penista agama dan penghina ulama di sosial media. Tapi, nampaknya aparat hukum bertindak lamban dalam merespon fenomena yang tidak lazim ini.
“Jika penistaan agama dan penghinaan ulama dibiarkan terus menerus, apa jadinya negeri dan bangsa ini? Apakah semua orang boleh menghina dan menista apapun atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi? Kalau saja, aparat hukum cepat merespon penistaan ini, tak mungkin terjadi kelompok masyarakat yang bertindak sendiri, karena kelambanan dari penegak hukum itu sendiri,” tandas Adhes.
Forjim tidak sependapat dengan istilah tindakan teror atau diburu. Istilah itu sangat tidak tepat dan cenderung tendensius. Justru dengan mendatangi masyarakat yang menghina ulama atau siapapun, adalah upaya untuk mencerdaskan masyarakat untuk bijak dalam bersosial media.
“Membiarkan masyarakat melakukan kekerasan di media sosial tanpa arahan adalah sebuah pembodohan. Kita tak ingin negeri ini melahirkan generasi brutal tanpa arahan. Kita semua punya tanggungjawab sosial untuk mencerdaskan masyarakat.
Melihat hal itu Forjim mengecam keras golongan masyarakat yang menghina ulama atau siapapun atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial.
Forjim meminta pihak Kepolisian Republik Indonesia agar cepat merespon masyarakat yang melakukan fitnah keji, menghina, menista ulama dan agama tertentu atau siapapun tanpa bukti nyata.
Forjim mengajak insan media, para pendidik atau pihak terkait untuk mencerdaskan masyarakat dalam menyampaikan pendapat tanpa harus melanggar hukum, dalam hal ini UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). []