ARU, (Panjimas.com) – Organisasi Dokter Tanpa Batas, Doctors Without Borders (MSF) bersama dengan pemimpin setempat pada hari Jumat (26/05) menyatakan bahwa ratusan anak-anak komunitas pengungsi di Republik Demokratik Kongo Timur, dalam kondisi sekarat, karena kekurangan gizi.
Doctors Without Borders (MSF) dalam sebuah pernyataan menegaskan bahwa para pengungsi yang tinggal di permukiman di sekitar kota Kalemie di Provinsi Tanganyika, memiliki akses terbatas terhadap perawatan kesehatan dan Mereka kekurangan pasokan makanan, air, dan tinggal dalam tempat penampungan tak layak, hingga menyebabkan ratusan anak-anak sekarat, dan hampir menemui ajalnya.
Ribuan orang mengungsi 10 bulan yang lalu karena bentrokan antar-komunal di provinsi tersebut, yangt menyebabkan puluhan kematian.
Sudah menjadi suatu hal yang biasa di negara-negara Afrika Tengah ketiika milisi atau kelompok kesukuan untuk menyerang desa-desa suku lainnya dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah.
“Anak-anak sekarat karena kekurangan gizi dan penyakit seperti diare dan campak,” kata Manajer Program Darurat Doctors Without Borders (MSF), Hugues Robert.
Dia menambahkan bahwa orang-orang yang kehilangan tempat tinggal tetap dalam kondisi keputus-asaan dan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
MSF mengatakan bahwa selama kampanye vaksinasi campak, MSF mengevaluasi kekurangan gizi pada 5.700 anak di bawah 5 tahun di 10 permukiman ini, dan menemukan tingkat kekurangan gizi di atas ambang darurat: 16 persen kekurangan gizi, sementara 4,5 persen dalam kondisi sangat parah.
Seorang pemimpin lokal di Kalemie, Muasa Lame, mengatakan kepada Anadolu bahwa dalam 10 bulan terakhir lebih dari 200 anak-anak telah meninggal dunia karena kekurangan gizi dan penyakit-penyakut lainnya.
“Orang-orang terlantar ini tidak bisa memberi makan anak-anak mereka dengan baik karena mereka kekurangan makanan. Mereka juga tidak punya uang untuk membayar perawatan anak-anak. Itu menyebabkan ratusan anak-anak sekarat (hampir mati).”
Lebih dari 500.000 orang terpaksa mengungsi antara periode Juli 2016 dan Maret 2017 karena kekerasan, demikian menurut perkiraan PBB. Semantara itu, lebih dari 44.000 orang kini tinggal di permukiman di sekitar kota Kalémie.
MSF telah meminta peningkatan respon kemanusiaan di wilayah Kalémie dan Kansimba, terutama dari Badan-Badan PBB dan lembaga pemerintah.[IZ]