NEW YORK, (Panjimas.com) – Sebuah organisasi nirlaba “Airwars” baru-baru ini memperkirakan bahwa setidaknya 3.100 warga sipil telah tewas akibat serangan-serangan udara AS di Irak dan Suriah sejak Agustus 2014, saat AS memulai operasi militernya untuk memerangi Islamic State (IS).
Berbeda dengan perhitungan NGO [LSM] tersebut, Militer AS memberikan perkiraan angka korban tewas yang jauh lebih rendah, Militer AS mengklaim bahwa serangan udaranya telah membunuh hanya 352 warga sipil, seperti yang dilaporkan oleh New York Times.
Namun dalam laporannya, Airwars yang melacak kematian warga sipil di Suriah dan Irak, menyatakan bahwa korban tewas sipil akibat serangan AS ternyata 8 kali lebih tinggi dari yang telah dikonfirmasi Militer AS.
Selain itu, kematian pada kuartal pertama 2017 meningkat pesat, menurut data Airwars.
New York Times menulis bahwa operasi untuk merebut markas Islamic State (IS) seperti Mosul dan Raqqa memainkan peran penting dalam meningkatkan jumlah korban tewas yang kini lebih tinggi.
Alasan lain terkait meningkat pesatnya kematian warga sipil ini, dapat menjadi perubahan dalam hal prosedur persetujuan serangan udara.
New York Times mengatakan bahwa komandan militer mendapat lebih banyak informasi tentang garis lintang dalam menentukan serangan udara pada hari-hari terakhir pemerintahan Barack Obama, sebuah tren yang telah berkembang tahun ini di bawah Presiden Donald Trump.[IZ]