JAKARTA (Panjimas.com) – Pencabutan banding sebagaimana dimaksudkan oleh Ahok telah menuai spekulasi, ada apa gerangan? Tentu suatu hal yang tidak lazim dilakukan, terlebih lagi sebelumnya yang bersangkutan demikian semangat untuk banding.
“Jika alasannya menunjuk pada suatu pengalaman sebelumnya bahwa putusan Pengadilan Tinggi justru menambah hukuman pidana tentu dapat dibenarkan,” kata Ahli Hukum Pidana, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH dalam keterangan tertulis yang diterima Panjimas, Selasa (23/5).
Lebih lanjut Abdul Chair mengatakan, perlu untuk diperhatikan tentang upaya Jaksa untuk banding pula. Bandingnya Jaksa semakin menarik untuk dikritisi, jika dimaksudkan agar Pengadilan Tinggi memvonis sesuai tuntutan Penuntut Umum, yakni 1 tahun pemidanaan dengan masw percobaan selama 2 tahun.
“Kita berasumsi, jika terjadi hal demikian dapat kita katakan telah terjadi ‘mutasi banding’. Sekali lagi ini suatu hal yang tidak lazim. Telah terjadi pergeseran paradigma banding yang tentu tidak sesuai dengan makna dan tujuan banding,” ujarnya.
Analisis Abdul Chaer terhadap mutasi banding ini adalah sebagai berikut. Pertama, seandainya upaya banding Jaksa gagal, maka hampir dapat dipastikan Jaksa tidak akan kasasi. Dengan demikian putusan menjadi inkraht.
Kedua, terhadap putusan yang telah inkraht tersebut, Ahok akan mengajukan PK dan/atau Grasi. Disini akan terlihat, apakah PK terlebih dahulu atau Grasi terlebih dahulu atau keduanya dimajukan berbarengan.
Menjadi pertanyaan, bagaimana jika Grasi terlebih dahulu atau Grasi dan PK disampaikan berbarengan? Akankah salah satunya mampu merubah “nasib” Ahok? Jawaban atas pertanyaan ini tentulah tidaklah sesulit jika Ahok mengajukan upaya banding. [des]