JENEWA (Panjimas.com) — Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menuntut pemerintah Myanmar untuk memperbolehkan para pekerja bantuan mendapatkan akses kepada orang-orang yang terjebak dalam konflik yang telah mengakibatkan puluhan ribu Muslim Rohingya terpaksa mengungsi.
Pihak berwenang telah memblokir ICRC dari daerah-daerah yang berada di bawah kendali pasukan minoritas etnis, selain itu ICRC juga dicegah rezim Myanmar untuk mengunjungi beberapa narapidana, kata Presiden ICRC Peter Maurer saat berbicara kepada wartawan di kota Yangon di Myanmar pada hari Rabu (10/05).
“Kami ingin memiliki akses ke semua orang yang membutuhkan untuk melakukan penilaian yang tepat, untuk membantu mempermudah mereaka sesuai kebutuhan,” pungkasnya, dikutip dari IINA.
Maurer mengunjungi negara bagian Rakhine di bagian barat laut, di mana dia mengunjungi kamp-kamp yang didirikan hampir lima tahun yang lalu untuk menampung warga sipil yang kehilangan tempat tinggal akibat bentrokan komunal antara Muslim Rohingya dan umat Buddha Rakhine.
Maurer tidak dapat mengunjungi bagian utara negara bagian Rakhine tersebut, di mana sebuah operasi keamanan militer dalam menanggapi serangan gerilyawan pada bulan Oktober telah memaksa sekitar 74.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Myanmar baru-baru ini mengizinkan para pekerja bantuan internasional untuk mengunjungi desa-desa yang terkena dampak, dengan syarat mereka didampingi oleh pejabat pemerintah, kata Badan Kemanusiaan PBB pada 1 Mei lalu.
Muslim Rohingya yang melarikan diri dengan melintasi perbatasan ke Bangladesh telah mengatakan kepada para wartawan dan kelompok HAM bahwa tentara Myanmar telah melakukan kekejaman yang terus meluas, termasuk membakar rumah-rumah, serta memperkosa perempuan Rohingya dan membunuhi warga sipil.
Minoritas Etnis Paling Tertindas di Dunia
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya masih tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Selama Oktober-November 2016, situasi di Rakhine telah menjadi kondisi paling mematikan di negara itu, terutama sejak kerusuhan antara umat Buddha dan umat Muslim yang menewaskan lebih dari 100 jiwa pada tahun 2012, sebagian besar dari korban adalah Muslim Rohingya.
Sekitar 100.000 Muslim Rohingya kini masih berada dalam keterbatasan dan hidup di kamp-kamp pengungsian kumuh di mana mereka ditolak akses gerakan, pendidikan dan kesehatannya.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar? [IZ]