JAKARTA (Panjimas.com) – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/5), mengungkapkan, keberadaan ketentuan pidana bagi penodaan atau penistaan terhadap ajaran sesuatu agama itu umumnya juga berlaku di negara-negara sekuler.
Dia memberikan contoh misalnya di Perancis, seorang walikota dituntut ke pengadilan dengan dakwaan penodaan ajaran agama. Di Rusia dan di China juga begitu, padahal mereka negara Komunis.
“Desakan untuk menghapus Pasal Penodaan Agama di Indonesia dianggapnya sebagai hal yang aneh. Apalagi kegiatan-kegiatan seperti itu makin banyak terjadi akhir-akhir ini terutama melalui media sosial,” ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini.
Yuril berpendapat, bahwa pasal-pasal penistaan agama itu harus tetap ada di dalam tata hukum Indonesia. Sebab lanjut dia, Pasal 29 UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa negara kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dia menambahkan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. “Karena itu, agama mendapat kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita,” paparnya.
Bahkan kata Yusril, Pembukaan UUD 45 menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa dan negara kita ini terjadi berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Lebih lanjut dia menjelaskan, Pasal-pasal penodaan agama bukan hanya ada di dalam Pasal 156 dan 156a KUHP, tetapi juga terdapat dalam Pasal 2 UU Nomor 1 PNPS 1965 tentang Larangan Peyalahgunaan dan/atau penodaan agama. “Pasal 156a KUHP yang baru-baru ini digunakan hakim untuk menghukum Ahok adalah berasal dari UU Nomor 1 PNPS tahun 1965 itu,” pungkasnya. (desastian)