JAKARTA (Panjimas.com) – Sangat memalukan. Keamanan bandara bisa dijebol ribuan massa pengacau dari berbagai penjuru Sulawesi Utara memblokir Bandar Udara Sam Ratulangi di Manado, Sabtu, 13 Mei 2017 lalu. Mereka menolak kedatangan Wakil Ketua DPR dan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah.
Seperti diberitakan sejumlah media, massa sempat berorasi di depan ruang VIP, dan sempat memaksa masuk ke ruang VIP, meski kemudian mereka keluar secara berangsur-angsur.
Panjimas mencatat, Aksi hadang menghadang di bandara, bukan sekali terjadi. Sebelumnya, Jum’at (5 Mei 2017) pukul 19.50 WIB bertempat di Bandara Internasional Supadio Kubu Raya Kec. Sungai Raya Kab. Kubu Raya Prov. Kalbar, Ketua Umum DPP FPI Ustadz Sobri Lubis di hadang massa yang mengatasnamakan kelompok Dayak.
Kemudian, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain juga mengalami insiden penghadangan oleh sejumlah warga adat Dayak di Bandara Susilo Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dengan menghunuskan Mandau, Januari 2017 lalu.
Aksi tersebut dibalas masyarakat Aceh dengan menggelar aksi di bundaran Simpang 5 Kota Banda Aceh dengan mendatangi Hotel Hermes Palace tempat dimana Gubernur Kaliman Barat Cornelis menginap dalam rangka pembukaan acara Petani Nelayan PENAS di Propinsi Aceh. Penolakan itu, karena Gubernur Kalbar sebelumnya pernah menolak kedatangan Ulama ke Kalimantan Barat untuk dakwah.
Kritik YLKI
Menanggapi hal itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengkritik manajemen Angkasa Pura I Bandara Sam Ratulangi yang lalai membiarkan ribuan orang, yang memprotes kunjungan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah ke Sulawesi Utara, menutup bandara.
“Kasus ini adalah sebuah kecerobohan,” kata Tulus Abadi melalui siaran pers pada Minggu, 14 Mei 2017. Tulus mengatakan tindakan penghadangan melanggar undang-undang tentang penerbangan dan regulasi internasional. Menurut dia, aparat keamanan dan manajemen Angkasa Pura I telah bertindak ceroboh.
“Kejadian seperti ini bisa mengakibatkan bandara Indonesia diboikot oleh komunitas internasional karena otoritas bandara tidak mampu/gagal menjaga keamanan bandara,” kata Tulu. Dia mendesak agar Kementerian Perhubungan segera bertindak dan memberi teguran keras terhadap manajemen Angkasa Pura I.
Kata dia, penghadangan bandara itu telah keterlaluan. Karena hampir seribu orang telah masuk ke area airside bandara. Bagi dia, hal itu adalah sebuah pelanggaran berat. Karena membahayakan keselamatan penerbangan.
Sekretaris Perusahaan PT Angkasa Pura I Israwadi juga menyesalkan aksi massa yang dilakukan sekelompok organisasi masyarakat. Dia membenarkan bahwa bandara adalah obyek vital nasional dan dilarang melakukan unjuk rasa seperti yang dituangkan di Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang mengemukakan pendapat di tempat umum.
“Kami telah mengantisipasi massa dengan koordinasi gabungan bersama petugas keamanan dari polda, Brimob, dan TNI AU sesuai dengan Airport Security Program (ASP),” kata dia. Pihaknya memohon maaf sebesar-besarnya kepada penumpang atas ketidaknyamanan itu. Kala itu, demonstrasi tidak mengganggu aktivitas bandara.
Menhub: Antisipasi!
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan, seharusnya penolakan politikus Fahri Hamzah di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, kemarin, bisa diantisipasi. “Mestinya bila semua unsur di Bandara Sam Ratulangi telah mempelajari gejala peristiwa di Kalimantan beberapa waktu lalu, antisipasi harus segera dilakukan,” ujarnya dalam rilis Sabtu lalu, 13 Mei 2017.
Menhub meminta koordinasi dengan aparat penegak hukum untuk menjaga keamanan dan sterilisasi bandara ditingkatkan agar keamanan dan keselamatan penerbangan di Bandara sebagai obyek vital, harus benar-benar terjaga.
Ke depan, evaluasi keamanan bandara juga akan dilakukan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, bandara, pelabuhan, stasiun kereta api, terminal dan obyek vital nasional merupakan tempat yang dilarang untuk melakukan unjuk rasa.
Bandara, kata Budi, tidak boleh dimasuki oleh orang-orang yang tidak berkepentingan dengan bandara, baik sebagai aparat atau pemakai jasa. “Bandara harus steril.” (desastian)