NEW YORK (Panjimas.com) — UNESCO awal Mei lalu mengesahkan sebuah resolusi yang menegaskan Israel sebagai “kekuatan pendudukan” dan menyangkal kedaulatannya atas wilayah Yerusalem. Demikian dilansir Middle East Monitor.
22 negara mendukung resolusi yang diajukan ke Dewan Eksekutif UNESCO termasuk para pengusul seperti Aljazair, Mesir, Libanon, Maroko, Oman, Qatar dan Sudan.
Resolusi tersebut menyatakan bahwa Kota Tua Yerusalem “sepenuhnya milik Palestina” dan menekankan warisan historisnya pada “Muslim dan Kristen”. Terlebih lagi, resolusi tersebut menegaskan karakter dan identitas Islam pada Masjid Ibrahimi di kota Hebron (Al-Khalil) dan Makam Rachel di kota Bethlehem.
Teks resolusi UNESCO tersebut :
“Semua tindakan legislatif dan administratif yang diambil oleh Israel, kekuatan pendudukan, yang telah mengubah atau bermaksud mengubah karakter dan status Kota Suci Yerusalem, dan khususnya ‘hukum dasar’ di Yerusalem, tidak sah dan harus dibatalkan segera.”
Hal ini menyebabkan sepuluh negara memilih menentang resolusi tersebut termasuk Italia, Inggris, Belanda, Lithuania, Yunani dan Jerman, Paraguay, Togo dan Ukraina.
Bagaimanapun, kesepuluh negara tersebut menyatakan bahwa Yerusalem adalah kota penting bagi “3 Agama Monoteistik”, sebuah klausul sebelumnya disahkan UNESCO pada bulan Oktober tahun lalu tidak menyebut frasa itu.
Sementara itu, 23 negara menyatakan abstain terkait resolusi “Israel sebagai kekuatan pendudukan”. UNESCO akhirnya mengadopsi resolusi tersebut dengan detil 22 negara anggota yang memberikan suara dukungan, 10 suara menentang dan 23 abstain.
Sebelumnya pada hari Selasa, untuk mengantisipasi adopsi resolusi tersebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan: “Kami [Israel] tidak percaya pada UNESCO.”
“Tidak ada orang lain di dunia ini yang Yerusalem sama suci dan penting bagi orang Yahudi,” tandas Netanyahu.
Israel menduduki Yerusalem Timur selama Perang Timur Tengah tahun 1967. Secara sepihak Israel mencaplok seluruh kota pada tahun 1980, bahkan mengklaimnya sebagai modal “abadi dan tak terbagi” dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional.[IZ]