XINJIANG (Panjimas.com) — Seorang pejabat senior pemerintah dari wilayah Otonomi Uighur Xinjiang di wilayah barat laut China pekan lalu mengumumkan rencana pengerahan pesawat nir-awak (drone) untuk mengawasi perbatasan sebagai bagian dari operasi keamanan di wilayah tersebut.
“Xinjiang akan mengerahkan pesawat tak berawak (drone), memasang kawat-kawat berduri dan memasang kamera pengintai di sepanjang perbatasan untuk mencegah orang-orang menyeberangi perbatasan secara tidak sah,” jelas Wakil Kepala Wilayah Xinjiang, Jerla Isamudin, dikutip oleh surat kabar China Daily, Selasa (02/05).
Kawasan juga perlu memperbaiki kerja sama dengan negara-negara tetangga mengenai pertukaran informasi intelijen terkait terorisme, imbuhnya.
Pemerintah Xinjiang telah menjalankan serangkaian rencana modernisasi dalam beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 2014, Unit Kontrol Perbatasan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) telah terhubung dengan jaringan listrik wilayah tersebut untuk menyediakan pasokan listrik yang stabil ke peralatan-peralatan berteknologi tinggi. Pada tahun 2017, 29 perusahaan-perusahaan pertahanan perbatasan lainnya telah terhubung ke jaringan listrik, menurut sebuah laporan harian PLA Daily pada bulan Maret.
Xinjiang berbagi wilayah perbatasan dengan delapan negara, termasuk Pakistan dan Afghanistan, hal ini menyebabkan masalah keamanan serius karena adanya berbagai kelompok milisi di wilayah tersebut.
Banyak kelompok milisi yang melakukan serangan-serangan di Xinjiang, diduga mereka mendapat pelatihan di luar negeri dan kemudian masuk secara ilegal, sementara beberapa orang dilaporkan melarikan diri melintasi perbatasan, menurut polisi setempat.
Pejabat keamanan juga menyebutkan pengaruh ekstremisme religius di luar negeri sebagai inspirasi untuk serangan-serangan bom dan pisau baru-baru ini di Xinjiang, yang merupakan rumah bagi minoritas Muslim Uighur China, serangan ini diduga dilakukan oleh kelompok separatis, meskipun para kritikus mengklaim bahwa hal itu juga disebabkan oleh ketegangan etnis antara imigran Han dan warga Uighur Muslim.
Shohrat Zakir, Kepala Pemerintah Daerah Xinjiang, mengatakan pada bulan Januari lalu bahwa pemerintah Xinjiang akan menerapkan langkah-langkah keamanan yang lebih ketat pada tahun 2017.
Parlemen Daerah Xinjiang mengeluarkan undang-undang kontrol perbatasan pada tahun 2016, yang mulai diberlakukan pada bulan Desember, sehingga mengharuskan penduduk di sepanjang wilayah perbatasan untuk melaporkan petugas keamanan dan menghukum aksi pengrusakan dan vandalisme pada peralatan-peralatan pengawasan.
Otoritas penegakan hukum daerah juga telah memberlakukan peraturan pada bulan Februari lalu untuk mengoperasikan perangkat pelacak satelit wajib pada mobil-mobil milik warga, hal ini memicu kritik keras dari kelompok hak asasi manusia.
Larang Jenggot dan Jilbab
Pihak berwenang China berdalih bahwa pelarangan jenggot dan jilbab bagi Muslim Xinjiang itu adalah upaya-upaya untuk mengekang ekstremisme dan radikalisasi di daerah itu. Yang dianggap rentan karena berbatasan dengan Kirgizstan, Tajikistan, dan Afghanistan.”
China mengklaim inisiatif kebijakan anti-Islam itu didorong sebagian besar oleh kematian ratusan orang selama beberapa tahun terakhir di Xinjiang dimana pasukan keamanan pemerintah secara rutin terlibat bentrokan dengan para militan dan menghadapi kerusuhan dengan Muslim Uighur.
Aturan-aturan baru yang diberlakukan pemerintah China menganggap penggunaan landasan agama bukan dengan prosedur hukum untuk menikah atau perceraian tidak sah atau ilegal.
Aturan baru itu juga tidak akan memaksa anak-anak Muslim untuk menerima kurikulum nasional dan melarang program
homeschooling, dan pembelajaran homeschooling dirumah-rumah Muslim akan dianggap ilegal.Nama-nama bayi tertentu juga akan dilarang, pihak berwenang China terutama melarang “penamaan anak-anak untuk membesar-besarkan semangat keagamaan”, seperti misalnya nama-nama yang berkaitan dengan ghiroh Islam ataupun dengan asal kata Arab.
Ini juga akan menjadi pelanggaran jika Muslim Xinjiang “menolak atau tidak mau” menonton tayangan televisi negara atau siaran radio negara, meskipun tidak jelas bagaimana pemerintah berencana untuk menegakkan peraturan ini.
Etnis Uighur merupakan kelompok minoritas Muslim yang berbahasa Turki dengan jumlah 45 persen dari total populasi di Xinjiang. Kelompok minoritas Muslim di China telah lama menuding pemerintah membatasi hak-hak budaya dan agama mereka.
Aturan Ketat Diberlakukan
Kelompok-kelompok HAM berpandangan pihak berwenang China telah memberlakukan aturan yang berat sebelah di wilayah Xinjiang, termasuk serangan penyerbuan and tindak kekerasan oleh polisi China terhadap rumah-rumah Muslim Uighur, pembatasan bagi Muslim untuk mempraktian ajaran Islam, dan pembatasan pada ekspresi budaya Muslim Uighhur serta bahasa asli dari etnis Uighur.
Akan tetapi para ahli di luar Cina mengatakan bahwa pihak Beijing telah membesar-besarkan ancaman dari muslim Uighur, dan bahwa kebijakan-kebijakan domestik tersebut bertanggung jawab atas meningkatnya kekerasan yang telah menewaskan ratusan orang sejak tahun 2012.
Label Terorisme Palsu Bagi Etnis Uighur
Beijing menuduh bahwa pejuang Muslim Uighur mirip seperti Gerakan Islam Turkistan yang berada di balik serangan di Xinjiang, yangdiklaim pihak Beijing telah menimbulkan gelombang kerusuhan yang mematikan.
Namun para pakar dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok itu dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakukan pembenaran atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam itu.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa tindakan keras pemerintah Beijing malah menjadi pemicu kekerasan.
Beijing menganggap kecaman dari pemerintah-pemerintah asing terhadap serangan di Xinjiang tidak berdasar, dan malah balik menuding Negara-negara Barat menerapkan “standar ganda”.
“Memerangi Gerakan Islam Turkistan Timur, Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM), kelompok teror yang ada dalam daftar PBB, dan kelompok teroris lainnya merupakan komponen penting dari perjuangan melawan terorisme internasional,” tegas Menlu China, Wang Yi, akhir tahun lalu saat mengomentari penembakan mati 28 Muslim Uighur.
Cina cenderung untuk melabeli “teroris” untuk semua serangan yang melibatkan Muslim Uighur, walaupun faktanya pemerintah Xinjiang masih sering menindas Muslim Uighur.
Beijing telah menuduh mereka sebagai dalang atas semua serangan teror di kawasan publik Cina. Seperti diberitakan oleh panjimas.com sebelumnya, para pakar keamanan dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok Uighur dan hubungan mereka dengan terorisme global, denga beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakuka pembenaran atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilaya yang kaya akan sumber daya alam itu.
Beijing terus berusaha menghubung-hubungkan Uighur dengan kelompok Taliban dan ISIS. Undang-Undang Keamanan Nasional China yang diadopsi pada bulan Juli mengharuskan semua kunci infrastruktur jaringan dan sistem informasi agar “aman dan terkendali”.
Mengutip Reuters, UU anti-terorisme juga memungkinkan Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army) untuk terlibat dalam operasi anti-terorisme di luar negeri, meskipun para ahli mengatakan China akan menghadapi masalah-masalah praktis dan diplomatik besar jika ingin melakukan hal ini.
Weixing, Kepala Divisi Kontra-Terorisme Departemen Keamanan Publik, pernah berujar China menghadapi ancaman serius dari teroris, terutama pasukan ”Turkestan Timur”, istilah umum China untuk para Islamis itu, yang diklaim pihak Beijing beroperasi di wilayah Xinjiang.
Kelompok-kelompok HAM, meskipun, meragukan keberadaan kelompok militan kohesif di Xinjiang, dan mengatakan bahwa kerusuhan sebagian besar berasal dari kemarahan di kalangan orang-orang Muslim Uighur di wilayah ini lebih dikarenakan pembatasan agama dan budaya mereka.
Undang-undang baru ini juga membatasi hak media untuk melaporkan rincian serangan teror, termasuk ketentuan bahwa media cetak, elektronik, media online dan media sosial tidak dapat melaporkan rincian kegiatan terror yang mungkin menyebabkan imitasi, atau menunjukkan adegan yang “kejam dan tidak manusiawi.[IZ]