JAKARTA (Panjimas.com) – “Tidak benar, jika Aksi Bela Islam pada tanggal 5 Mei 2017 (Aksi 55) sebagai aksi intimidasi atau intervensi keputusan hakim, sehingga menyebabkan Ahok divonis penjara selama dua tahun. Aksi tersebut hanya bertujuan untuk memberikan dukungan kepada penegak hukum, dalam hal ini Hakim dan MA, agar tidak ragu- ragu untuk membuat keputusan dengan seadil- adilnya.”
Demikian dikatakan Ketua Umum Advokat Muslim NKRI, Ahmad Alkatiri kepada Panjimas belum lama ini (12/5). Menurutnya, Aksi 55 merupakan reaksi spontan yang tidak direncanakan sebelumnya. Terlebih, ketika tuntutan yang dibacakan Jaksa Penutut Umum(JPU) di dalam persidangan sudah keluar dari fakta-fakta persidangan maupun dari dakwaan yang telah dibuat oleh JPU sendiri.
“Dakwaan tersebut sudah melalui kajian secara mendalam oleh belasan orang JPU dan dinyatakan lengkap dan terpenuhi unsur-unsur pasal 156 a dan sudah dinyatakan P 21, sehingga dilimpahkan ke Pengadilan.
Umat Islam dan pencari keadilan sangat percaya bahwa proseses persidangan ini akan berlangsung secara fair dan adil serta tidak memihak. Apalagi pada awal-awal persidangan, eksepsi dari Penasehat Hukum Terdakwa atas Dakwaan JPU yang mengunakan pasal 156 a sebagai dakwaan primer ditolak oleh Majelis Hakim.
“Sebenarnya kekhawatiran dan keraguan Umat Islam terhadap kemungkinan intervensi dari pihak Ahok, dimulai dari dikeluarkannya Surat Kapolda Metro Jaya kepada Ketua Pengadilan Jakarta Utara untuk menunda Jadwal Sidang sampai selesainya Pilkada DKI. Surat tersebut digunakan oleh JPU sebagai salah satu alasan penundaan persidangan sampai Pilkada DKI selesai. JPU pun berdalih, belum selesai pengetikan. Fakta-fakta itulah yang membuat umat Islam khawatir Majelis Hakim akan terpengaruh oleh intervensi dari pihak penguasa ,” papar Al Katiri.
Tuduhan Aksi 55 sebagai bentuk intervensi, kata Al Katiri, adalah fitnah keji terhadap umat Islam. Aksi 55 semata-mata aksi doa bersama di dalam masjid dengan harapan Majelis Hakim tidak terpengaruh dengan intervensi pihak penguasa.
Mengenai putusan Majelis Hakim yang tidak mendasarkan pada tuntutan JPU adalah sah-sah saja. Dalam hukum dikenal dengan istilah “Ultra Petita“, yaitu putusan hakim yang menggunakan pasal diluar dakwaan maupun tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan secara hukum hal itu dibenarkan.
“Latar belakang munculnya Putusan Ultra Petita adalah akibat dari ketidak tepatan dan ketidak cermatan JPU merumuskan pasal dalam dakwaan atau tuntutannya. Berkaca pada akrobat hukum yang dilakukan oleh JPU di dalam Persidangan Ahok, maka sudah waktunya bagi Kejaksaan Agung bersama Komisi Kejaksaan selaku lembaga untuk meningkatkan pengawasan dan evaluasi kinerja dari para Jaksa di seluruh Indonesia.”
“Lemahnya pengawasan bagi para JPU, terlihat dari masih banyak ditemukan JPU yang sengaja melemahkan atau menyesatkan dakwaan dan tuntutannya. Sehingga apa yang didakwakan maupun dituntutkan tidak terbukti di dalam pemeriksaan sidang pengadilan, lalu menyebabkan hakim menggunakan Putusan Ultra Petita,” ungkap Al Katiri.
Nah, agar terhindar dari intervensi yang membuat ketidak independennya Jaksa Penuntut Umum, hendaknya Presiden tidak mengangkat Jaksa Agung dari Partai Politik demi tegaknya keadilan dan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Demikian Al Katiri. (edys/des)