JAKARTA (Panjimas.com) – Wakil Ketua Umum PP Persis, Dr. Jeje Zaenuddin dalam siaran persnya, (9/5) di Bekasi, Jawa Barat, mengatakan, ada beberapa hal yang harus diwaspadai umat Islam terkait dampak yang mungkin muncul dari rencana pembubaran HTI oleh pemerintah.
Pertama, bisa terjadi gelombang perlawanan penolakan dari internal HTI sendiri dan dari ormas dan elemen masyarakat muslim yang lain, walaupun berbeda pandangan dengan HTI. Hal itu tentu akan menambah berat beban pekerjaan rezim Presiden Jokowi dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan domestic, karena semakin kuat dicitrakan anti Islam dan pro komunis .
Kedua, harus diwaspadai kemungkinan meluasnya ketegangan dan konflik horizontal diakar rumput, dimana kelompok masyarakat yang anti HTI semakin agresif menghalangi, membubarkan dan menyerang HTI karena seakan mendapat legitimasi dari rencana pembubaran HTI.
“Belum diumumkan akan dibubarkan saja sudah demikian gencar diserang, apalagi jika resmi dibubarkan. Pro kontra pembubaran HTI bisa jadi meluas. Jika ini yang terjadi makan konflik horizontal antar umat Islam benar benar terjadi sebagaimana yang didesain oleh musuh musuh Islam dan musuh musuh NKRI dari dalam maupun luar negeri,” ungkap Jeje.
Ketiga, rencana pembubaran HTI bisa diinterpretasi sebagai wujud nyata upaya pembungkaman gerakan Islam yang kritis terhadap rezim. Ini adalah testcase dan langkah awal untuk mengancam gerakan islam lainnya yang dianggap anti rezim seperti FPI, MMI, JAT, dan yang lainnya.
Keempat, rencana pembubaran HTI bisa dinilai sebagai kebijakan blunder yang bisa menjadi boomerang bagi rezim Jokowi sendiri. Bukannya dapat memperkuat posisi Presiden Jokowi yang kekuasaanya hanya tinggal lebih dua tahun setengah lagi, tapi justru bisa berubah jadi isu pelengseran presiden karena dinilai bertindak otoriter plus represif terhadap umat Islam dan bertindak inkonstitusional.
“Jika itu yang terjadi maka keputusan untuk membubarkan HTI disadari ataupun tidak adalah pembusukan dari dalam tubuh rezim itu sendiri untuk menjatuhkan kredibilitasnya di pilpres 2019. Artinya bahwa kabinet Presiden Jokowi sudah tidak solid lagi.”
Di atas semua spekulasi itu, Jeje secara pribadi sangat mendukung upaya perlawanan hukum dilakukan oleh HTI untuk membuktikan bahwa HTI menghormati hukum yang berlaku di negeri ini. Insya Allah banyak elemen umat dan ormas Islam yang siap membela perjuangan hukum HTI.
Kembali Ke Orba
Senada dengan Ketua Umum PP HIMA Persis, Nizar Ahmad Saputra. Menurutnya, sikap pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sama halnya mengantarkan rakyat Indonesia kembali ke zaman orde baru. Pemerintah seharusnya tidak terlalu gegabah. Hendaknya lebih dulu menempuh langkah persuasif, baru kemudian menempuh langkah hukum untuk membubarkannya.
“Pernyataan pemerintah sangat tidak berlandaskan hukum dan juga terkesan tidak edukatif serta tidak demokratis dalam memberikan ruang kebebasan terhadap masyarakat. Kalaupun HTI dianggap sebagai anti-Pancasila, anti NKRI, dan bertentangan dengan UUD 45, mengapa pemerintah baru membubarkan HTI sekarang? Padahal dakwah dan ideologi mereka sudah sejak lama hidup di negeri ini?” ungkap
Seperti diketahui, HTI adalah ormas yang berbadan hukum bukan illegal. Sehingga pembubaran HTI ini belum final. Berdasarkan Pasal 59 dan 69 UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Ormas dilarang melakukan berbagai kegiatan yang antara lain menyebarkan rasa permusuhan yg bersifat SARA, melakukan kegiatan separatis, mengumpulkan dana untuk parpol dan menyebarkan faham yang bertentangan dengan Pancasila.
“Sikap pemerintah Jokowi-JK yang begitu terang benderang melakukan kekuasaan terlebih dahulu, baru hukum kemudian. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan negara. Indonesia adalah rechtsstaat (negara hukum), bukan machstaat (negara kekuasaan). Karenanya, Hukum harus dijadikan Panglima tertinggi.”
HIMA Persis mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog terbuka kepada elemen bangsa yang dipandang tidak sejalan dengan falsafah negara indonesia.(desastian)