JAKARTA (Panjimas.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam pernyataan sikapnya menegaskan, membubarkan organisasi, termasuk seperti HTI, adalah pelanggaran terhadap hak menyatakan pendapat dan berserikat yang itu dilindungi Konstitusi. Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Perlindungan terhadap pelaksanaan hak ini juga diatur lebih detail dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol).
Undang-undang itu juga menegaskan bahwa jenis pembatasan yang dapat dilakukan negara yang hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain atau melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
“Pemerintah harus membuktikan adanya pelanggaran ini sebelum melakukan tindakan drastis seperti ini terhadap HTI,” ungkap Ketua Umum AJI, Suwarjono dan Sekjen AJI Arfi Bambani dalam pernyataan sikap tersebut.
Menurut AJI, pembubaran sebuah organisasi adalah tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip negara demokrasi. Membiarkan pemerintah melakukan tindakan seperti itu sama dengan memberi cek kosong yang itu bisa dipakai secara sewenang-wenang di kemudian hari dengan alasan yang bisa dicari-cari.
Pemerintah harus melakukan cara lain untuk menangkal bahaya yang ditimbulkan oleh sebuah organisasi sebelum memilih cara drastis dan keras seperti pembubaran. Artinya, pembubaran ormas harus benar-benar merupakan opsi terakhir dan harus sesuai undang-undang.
Ketentuan soal organisasi kemasyarakatan diatur dalam Undang Undang No 17 tahun 2013. Regulasi ini memuat larangan bagi sebuah organisasi, antara lain: menyebarkan permusuhan bersifat SARA; melakukan kegiatan separatis; mengumpulkan dana untuk parpol; dan menyebarkan faham yang bertentangan dengan Pancasila.
“Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa tindakan HTI terbukti melanggar undang-undang tersebut. Kalau pun memang ada pelanggaran, pemerintah harus mengikuti prosedurnya, yaitu terlebih dulu memberi peringatan. Jika peringatan sampai tiga kali diacuhkan, pemerintah terlebih dulu harus menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatannya selama enam bulan. Jika larangan ini diabaikan, barulah pemerintah bisa membawanya ke pengadilan.”
Lebih lanjut AJI menyatakan, pemerintah harus konsisten dalam menerapkan undang-undang dalam melindungi hak asasi manusia. Dalam pembubaran HTI ini pemerintah menjadikan Konstitusi sebagai dasar untuk menghukumnya.
Dalam catatan AJI, selama ini cukup banyak perilaku organisasi kemasyarakatan keagamaan maupun kepemudaan yang tindakannya melanggar hak asasi manusia. Tindakan itu ditunjukkan dengan cara mengintimidasi kelompok minoritas, melarang pertunjukan film, membubarkan acara diskusi dan pembacaan pusi, dan semacamnya.
“Tindakan-tindakan ormas semacam itu jelas melanggar Konstitusi dan harusnya menjadi dasar hukum yang jelas bagi pemerintah untuk bertindak. Bersikap keras terhadap HTI tapi lembek kepada ormas keagamaan dan kepemudaan lainnya membuat publik beranggapan bahwa pemerintah ini menerapkan kebijakan yang tebang pilih dan memancing kecurigaan yang tak perlu soal apa motif dibalik keluarnya keputusan ini.”
Selanjutnya AJI juga menuntut Pemerintah dan Polri untuk berhenti melakukan praktik diskriminasi terhadap warga negara, dan melaksanakan kewajiban negara melindungi pelaksanaan hak konstitusional dan hak asasi warga negara, dengan mengacu kepada ketentuan UUD 1945 berikut jaminan hukum dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Sipol, serta Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 (UU No 40/2008) tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. (desastian)