BANDUNG (Panjimas.com) – Menko Polhukam, Wiranto menyatakan akan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hal ini disampaikan Menko Polhukam usai bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta.
Ada sejumlah alasan yang disampaikan Menko Polhukam, terkait pembubaran HTI, sebagaimana rilis yang disebarkan kepada wartawan. Diantaranya adalah, aktifitas yang dilakukan HTI nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
“Selama ini aktifitas HTI telah menimbulkan benturan di masyarakat yang mengancam keamanan dan ketertiban serta keutuhan NKRI, sehingga pembubaran menjadi langkah yang diambil,” kata Wiranto, di Gedung Menko Polhukam, Jakarta, pada Senin (8/7/2017).
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS), KH Athian Ali, menyayangkan tindakan pemerintah yang terburu-buru akan membubarkan HTI. (Baca: Pemerintah Harus Konsisten, Berapa Banyak Ormas yang Ganggu Ketertiban Tapi Dibiarkan)
“Jadi menurut saya pemerintah terlalu terburu-buru, saya tidak tahu apa dasarnya, sehingga sampai mengumumkan pembubaran itu tanpa sebelumnya menjalani prosedur aturan yang ada,” kata KH Athian Ali kepada Panjimas.com, Selasa (9/7/2017).
Lebih lanjut, KH Athian Ali menyampaikan, jika pemerintah konsisten dengan alasan pembubaran yang disampaikan, ada banyak Ormas yang lebih layak untuk dibubarkan diantaranya Ormas-ormas yang melindungi aliran sesat Syiah.
“Kalau kita lihat alasan yang dikemukaan pemerintah, sebenarnya yang sudah pasti melanggar dan bahkan berbahaya adalah Ormas-ormas yang melindungi Syiah,” ujarnya.
Di Indonesia aliran sesat Syiah sudah terbukti meresahkan dan mengganggu ketertiban. Tak hanya itu, bahkan sudah memicu konflik di tengah masyarakat, sebagaimana kasus Syiah pimpinan Tajul Muluk di Sampang, Madura.
Dr Adian Husaini, dalam sebuah tulisannya, mengutip hasil penelitian Akhmad Rofii Damyati MA, sarjana pemikiran Islam asal Madura. Dalam tulisan tersebut diungkapkan bahwa Tajul Muluk aktif di organisasi Syiah di Indonesia, yaitu Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Posisi Tajul adalah PD (Pimpinan Daerah) IJABI Sampang. Tapi, IJABI di Sampang dan bahkan di Madura lebih bergerak di bawah tanah, dan tidak ditemukan dalam daftar ormas di Sampang.
Selain itu, di luar negeri Syiah juga terbukti berperan dalam kekacauan di sejumlah negara di Timur Tengah, seperti Suriah dan Yaman.
“Di berbagai negara dunia ini, Syiah terbukti mengacaukan dan melakukan revolusi, karena itu merupakan pesan Khumaini saat revolusi Iran, bahwa masing-masing orang yang datang ke Iran waktu itu, mewakili berbagai negara, Khumaini mengingatkan agar mereka pulang dengan membawa semangat revolusi di negara masing-masing,” ungkapnya.
“Mereka (Syiah), juga punya rukun Islam di dalamnya ada rukun Al-Wilayah, di mana di setiap mereka berada di suatu negara, mereka harus berkuasa, mengambil alih kekuasaan, itu rukun Islam mereka,” imbuhnya.
KH Athian Ali juga mengungkapkan, bahwa sistem Khilafah yang disampaikan oleh HTI, sejauh ini adalah wacana dan pemikiran. Sehingga mereka sangat terbuka untuk berdialog tentang wacana itu. Berbeda dengan Syiah, yang menjadikan Al-Imamah dan Al-Wilayah sebagai bagian dari aqidah mereka yang tak bisa ditawar-tawar.
“Ini adalah bukti langkah kongkrit mereka (Syiah) dan sudah terbukti di berbagai negara. Bandingkan dengan Hizbut Tahrir yang berdiri sejak tahun 1953, selama ini hanya wacana pemikiran. Di Palestina sendiri, tempat lahirnya Hizbut Tahrir kan tidak demikian, di Mesir juga sama. Di Indonesia berkembang, juga begitu, jadi seberapa jauh ancamannya? Mereka tidak melakukan tindakan pemberontakan atau kekerasan,” jelasnya.
Oleh sebab itu, KH Athian Ali berkesimpulan bahwa, Ormas pelindung ajaran sesat Syiah seperti IJABI dan OASE itulah yang layak dibubarkan karena berbahaya, mengancam NKRI, sudah terbukti meresahkan dan memicu konflik di tengah masyarakat. Maka sudah seharusnya pemerintah jangan tebang pilih dalam menerapkan kebijakan. [AW]