JAKARTA (Panjimas.com) – Pemerintah tidak elok mempertontonkan perilaku membabibuta memberangus pihak-pihak yang tak sepaham dengannya, lewat stigma-stigma anti Pancasilan, anti NKRI, guna melegitimasi tindakan represif pemerintah kepada fihak lain.
“Pemerintah atau pihak manapun menstigma anti toleransi, anti Pancasila dan anti NKRI, kepada Ormas-ormas Islam, atau lawan politiknya, juga kepada masyarakat umum bila tak sefaham akan kebijakan rezim yang dikuasainya,” tegas Komisioner Komnas HAM, Meneger Nasution dalam keterangan pers yang diterima Panjimas, Senin (8/5) terkait pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Dikatakan Meneger, kebebasan berkumpul, berserikat, berorganisasi, menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional warga negara. Negara harus memfasilitasi hak tersebut. Kebebasan berkumpul, bersyarikat, berorganisasi itu tentu sejatinya juga menghormati HAM org lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya itu wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud untuk menghormati HAM orang lain serta dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum (pasal 28J UUDNRI tahun 1945 dan psl 73 UU No.39 tahun 1999 ttg HAM).
“Jika ada orang atau pihak manapun yang tidak setuju dengan pandangan dan gerakan organisasi apapun, maka cara yang paling elegan adalah melalui proses hukum, yaitu mengajukannya ke pengadilan,” tukas Meneger.
Selanjutnya, pembubaran terhadap organisasi atau perkumpulan, apalagi sudah teregistrasi dalam lembaga negara terkait adalah harus berdasarkan keputusan pengadilan. Orang atau pihak manapun tidak boleh main hakim sendiri.
Pejabat pemerintah atau siapapun, kata Meneger, tidak boleh membuat stigma anti Pancasila dan anti NKRI karena itu adalah cara fasis untuk membungkam lawan politik. Sekali lagi, hanya proses hukum di Pengadilanlah yang boleh memutuskan seseorang atau organisasi bersalah sebagai melawan Pancasila dan NKRI. Bukan dengan cara stigma.
Mengutip Ketua Komisi Yudisial (KY) RI, stigma anti Pancasila, anti NKRI, anti NKRI atau anti Kebhinekaan tidak boleh dilakukan Negara atau pihak manapun. Politik stigmatik adalah cara fasis membungkam lawan politik. Karena Fasisme adalah ideologi yang berdasarkan pada prinsip kepemimpinan dengan otoritas absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian.
“Sejatinya pemerintah mengedepankan dialog dalam menyelesaikan perbedaan pandangan yang mana semua permasalahan diputuskan lewat asas pemufakatan dan musyawarah,” tandasnya. (desastian)