TANGERANG (Panjimas.com) – Harus diakui Gerakan Tahfizh Qur’an di Indonesia kian berkembang pesat. Bukan hanya para penghapal Qur’an yang terus bertambah, tapi juga kehadiran rumah-rumah tahfizh dan dukungan dari berbagai pihak. Namun, di tengah antusiasnya gerakan tahfizh Qur’an, ternyata masih banyak umat Islam yang juga buta aksara Al Qur’an.
“Ya memang, masih banyak umat Islam yang belum melek alias belum bisa membaca Al Qur’an. Bicara kuantitas, jumlah penghapal atau tahfizh Quran di Indonesia yang bersanad masih di bawah 1000 orang,” ungkap Ustadz Yusuf Mansur dalam Konferensi Pers di Hotel Siti, Tangerang, Ahad (7/5) jelang digelarnya Daqu Award dan Wisuda Tahfizh Nasional.
Indonesia, kata Ustad Yusf, masih kalah dengan Asia Pacific. Namun begitu, Philipina dan Thailand, berdasarkan jumlah penduduknya, termasuk yang terbanyak. Tapi kalau yang berijazah, Indonesia yang terbanyak. “Saya sendiri belum lulus
dengan kategori bersanad.”
Ustadz Yusuf Mansur bercerita ketika bertemu dengan seorang Syekh asal Timur Tengah. Syeikh mengatakan, Indonesia termasuk negara yang paling kuat hapalannya, tapi belum pada bacaannya.
Pernah seorang syaikh yang tidak meluluskan penghapal Quran 30 juz, hanya karena lidahnya cadel, tidak bisa menyebut huruf Ro. Murid itu menyerah karena lidahnya itu. Lalu gurunya meminta agar tidak menyerah, dan berdoa di Multazam.
Lalu berdoalah muridnya itu di Multazam, doanya hanya satu, agar dimudahkan melafazhkan huruf ro. Doanya pun dikabulkan Allah, akhirnya ia bisa mengucapkan huruf ro dan lulus. “Segala sesuatu harus minta keridhoan Allah dengan shalat malam, puasa sunnah, berdoa, seperti doanya orang yang minta agar dibebaskan hutang-hutangnya, dimudahkan jodohnya, punya rumah dan sebagainya.”
Ustadz Yusuf Mansur juga memaparkan tentang keberkahan orang yang menghapal Al Qur’an. Dalam cerita yang lain, ada seorang wanita muda berusia 22 tahun. Sehari-hari ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ayahnya bekerja sebagai pelayan di Warung Tegal alias Warteg.
“Wanita itu minta diantarkan ke rumah Ustadz Yusuf Mansur untuk bisa menghapal Al Qur’an. Lalu saya motivasi dia untuk mewujudkan agar bisa hapal Quran, dengan belajar dan tinggal di pesantren tahfizh Quran di Tangerang, termasuk memfasilitasi kebutuhan hidupnya sehari-hari.”
Pagi, siang, malam, setiap bangun tidur, dan sambil ngepel, masak, serta pekerjaan lain, hanya Al Quran yang didengar. Di tahun kedua, ia baru hapal 4 juz. Baginya, tekad kerasnya itu seperti siksaan. Selama di pesantren, dalam tujuh bulan, akhirnya wanita itu hapal 30 juz.
“Saat ada program guru tahfizh anak usia dini, wanita itu disunting oleh seorang pria yang juga seorang ustadz. Akhirnya wanita itu dikirim ke Melbern, Australia untuk menjadi guru tahfizh Qur’an. Inilah keberkahan dari seorang hafizh Qur’an. Allah akan angkat derajat siapa saja yang punya perhatian pada Qur’an,” kisah Ustadz Yusuf Mansur.
Pesan Yusuf Mansur, jika anak kita mau jadi seorang hafizh Quran, harus ada sambung rasa dengan orang tuanya. Spirit belajar itu harus dikembangkan. “Kami punya mimpi, Indonesia harus jadi kiblat tahfizh Qur’an. Ketika Daarul Quran dinobatkan sebagai Lembaga Tahfzh Qur’an terbaik se-dunia, kami merasa biasa-biasa saja. (desastian)