JAKARTA, (Panjimas.com) – Juru Bicara Tim Advokasi GNPF-MUI Kapitra Ampera mengungkap kejanggalan yang terjadi dalam tuntutan Tim Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Sebagaimana kita saksikan bersama bahwa Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan Pasal 156a tentang penodaan agama dan 156 tentang penodaan kelompok. Dakwaan itu dieksepsi oleh Basuki Tjahaja Purnama dan penasehat hukumnya yang mengatakan, tidak melakukan penodaan agama, baik atas agama maupun atas golongan,” kata Kapitra Ampera dalam Konferensi Pers terkait Pernyataan Sikap GNPF-MUI atas Persidangan Penodaan Agama, di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (02/05).
Kapitra melanjutkan, eksepsi itu dijawab oleh Jaksa Penuntut Umum yang mengatakan, jangankan pernyataan di Pulau Seribu, buku yang ditulis tahun 2008 Merubah Indonesia halaman 40 (saja) sangat berpotensi memecah belah kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan eksepsi itu (sudah) dibantah diputusan sela.
“Artinya, terbuka lebar untuk Jaksa Penuntut Umum melaksanakan putusan sela itu dengan melakukan penuntutan dengan Pasal 156a tentang penodaan agama,” tegas Kapitra Ampera.
Seperti diketahui, dalam persidangan yang digelar pada Kamis, 20 April 2017 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, di Kementerian Pertanian, Ragunan Jakarta Selatan, Tim Jaksa Penuntut Umum menuntut Ahok dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap tidak memenuhi unsur niat melakukan penghinaan agama. Artinya, Ahok tidak akan ditahan dalam menjalani masa hukuman selama masa percobaan tak melakukan tindak pidana.
Oleh karena itu, Tim Advokasi GNPF-MUI berharap agar Majelis Hakim memvonis terdakwa penistaan agama Basuki Tjahaja Pirnama alias Ahok dengan Pasal 156a Tentang Penodaan Agama.
“Kami menuntut keras tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang tidak adil dan kami juga meminta pasal penodaan agama diterapkan oleh Majelis Hakim.” pungkasnya. [DP]