JAKARTA, (Panjimas.com) – Juru Bicara Tim Advokasi GNPF-MUI Kapitra Ampera menegaskan tuntutan Tim Jaksa Penuntut Umum terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang hanya satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun dianggap tidak memenuhi unsur hukum. Hal itu sama seperti menuntut Majelis Ulama Indonesia dibubarkan.
“Apa yang kita lihat? (tuntutan) ini menggegerkan Republik Indonesia khususnya lembaga Majelis Ulama Indonesia. Kita berharap Jaksa Penuntut Umum menuntut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tetapi pada kenyataannya tuntutan itu justru menuntut pembubaran Majelis Ulama Indonesia,” kata Kapitra Ampera dalam Konferensi Pers terkait Pernyataan Sikap GNPF-MUI atas Persidangan Penodaan Agama, di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (02/05).
Kapitra menjelaskan, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI muncul atas diterbitkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berupa Sikap Keagamaan dan lebih tinggi dari fatwa serta ditanda tangani oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekjen Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama melakukan penodaan atas agama islam.
Lebih lanjut, kata Kapitra, dalam hukum pidana bahwa surat ini (Sikap Keagamaan MUI) menjadi alat bukti yang akurat, petunjuk yang valid untuk ditindaklanjuti proses pidananya yang diduga dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama.
“Ketika Jaksa Penuntut Umum menuntut tidak adanya penodaan agama, maka menjadi delegitimasi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan terjadi penghancuran kredibilitas Majelis Ulama Indonesia, karena
Sikap Keagamaan MUI dianggap tidak akurat, tidak valid, tidak benar alias bohong atas penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama,” tegas Kapitra.
“Itu makna yang kami rasakan atas tuntutan jaksa penuntut umum.” tandasnya. [DP]