JAKARTA (Panjimas.com) – Peringatan hari buruh internasional atau May Day, tanggal 1 Mei 2017, di peringati oleh setengah juta buruh dalam bentuk aksi. Bukan dalam bentuk karnaval pariwisata sebagaimana dianjurkan Menaker.
Demikian disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, Kamis (27/4/2017).
Lebih lanjut Iqbal menjelaskan, pemikiran Mayday dalam bentuk aksi akan menimbulkan stigma negatif adalah gagal paham sejarah dan hanya pantas dikeluarkan oleh ucapan pengusaha hitam yang ingin tetap mempertahankan upah murah, outsourcing, akses jaminan sosial yang terbatas akibat Peraturan Pemerintah (PP) yang bercita rasa pengusaha.
Sejarah Mayday adalah ketika ratusan buruh di Chicago abad 18 turun ke jalan menuntut keadilan dilaksanakannya “triple day”, yakni 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam sosial.
“Di Indonesia hari ini, karena mayoritas buruh mendapatkan upah murah, maka mereka bekerja 12 jam kerja karena harus lembur, sistem outsourcing dan pemagangan yang melanggar Undang-Undang, serta jaminan pensiun yang hanya Rp 300 ribu /bulan untuk 15 tahun lagi.Sungguh ironis, karena kondisi ini seperti abad 18 yang seharusnya dipahami pemerintah, khususnya menaker,” kata Iqbal.
Lebih lanjut pria yang juga menjadi Goberning Body ILO ini mengatakan, “Jadi may day is not holiday and is not tourism carnaval. Mayday adalah aksi massa buruh menyuarakan HOSJATUM.”
HOSJATUM adalah singkatan dari Hapus Out Sourcing dan pemagangan, JAminan sosial: jaminan kesehatan gratis seluruh rakyat dan jaminan pensiun untuk buruh sama dengan PNS/TNI/Polri, serta Tolak Upah Murah : Cabut PP 78 /2015. (des)