JAKARTA (Panjimas.com) – Aksi para buruh di Hari Buruh (May Day) diikuti setengah juta buruh di berbagi daerah di Indonesia. Khusus di Istana Negara, diikuti 150 ribu massa buruh dari Jobodetabek, Karawang, dan Purwakarta.
“Jadi jumlah massa buruh yang akan aksi bukan hanya 30 ribu, sebagaimana yang disampaikan pihak Polda Metro Jaya,” kata Presiden KSPI, Said Iqbal dalam keterangan persnya, Senin (1/5).
Dalam aksi May Day Tahun 2017, buruh mengangkat isu HOSJATUM (Hapus OutSourcing dan pemagangan – Jaminan sosial direvisi: jaminan kesehatan gratis seluruh rakyat dan jaminan pensiun sama dengan PNS/TNI/Polri – Tolak Upah Murah: cabut PP 78/2015.
Isu ini diangkat, karena dalam dua tahun terakhir kesejahteraan dan perlindungan terhadap buruh menurun drastis.
“Dengan demikian, pernyataan Menaker di sela-sela acara peresmian Rusunawa di BSD Tangerang yang menyatakan bahwa perlindungan kaum buruh makin membaik tidak benar,” katanya.
Menurut Said Iqbal, menurunnya perlindungan dan kesejahteraan kaum buruh terlihat dari tanda tanda berikut:Pertama, penggunaan outsourcing makin masif di perusahaan swasta. Bahkan program pemagangan yang diluncurkan oleh Presiden Jokowi makin memperparah hilangnya perlindungan bagi buruh karena orang-orang yang magang di perusahaan bekerja sebagaimana layaknya buruh delapan jam perhari tapi tidak mendapatkan gaji. Mereka hanya mendapatkan uang transport dan uang makan.
“Hal ini ibaratnya perbudakan modern. Bagaimana mungkin Menaker tidak tahu hal ini? Termasuk di BUMN, bahkan banyak menggunakan buruh outsourcing,” tegas Iqbal.
Kedua, jaminan pensiun buruh dan pegawai negeri berbeda. Padahal nilai iuran pensiun buruh sama dengan pegawai negeri. Tetapi ketika pensiun PNS mendapatkan dana pensiun minimal 60% dari gaji terakhir, sedangkan yang didapat buruh hanya sekitar 300 ribu.
Ketiga, Jaminan kesehatan dengan sistem INA CBGs membuat pelayanan kesehatan makin memburuk. Bahkan JPK pada saat Jamsostek lebih baik dibandingkan Jaminan Kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan. Berbagai permasalahan itu, sebagai contoh, antrian yang sangat panjang, pemberian obat yang terbatas sehingga buruh harus membayar biaya tambahan, permasalahan dalam rawat inap, dan yang lain.
Keempat, kembalinya upah murah dengan dihilangkannya hak berunding buruh dalam menetapkan upah minimum melalui PP 78/2015. Sehingga buruh tidak bisa ikut penetapan kenaikan upah minimum. Akibatnya upah setiap tahun naik sebesar harga kebab yang dibeli di Eropa, padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia di klaim nomor tiga dan tax amnesty nomor satu di dunia. Bahkan di Ibu Kota Negara, DKI Jakarta, upah minimumnya lebih rendah dari Karawang.
“Bagaimana mungkin Menaker mengatakan kondisi pemerintah sekarang jauh lebih baik,” lanjut Iqbal.
Keempat, union busting dan kriminalisasi makin meningkat. Terbukti dengan kasus kekerasan terhadap pekerja Freeport dan kriminalisasi yang pernah dilakukan terhadap aktivis buruh yang kritis terhadap PP 78/2015.
Kelima, harga rumah rusunami yang mahal. Akibatnya, program perumahan ini hanya dinikmati kalangan menengah atas.
Ketujuh, KSPI dan ASPEK Indonesia menolak keras otomatisasi jalan tol karena akan menyebabkan puluhan ribu buruh jalan tol akan ter PHK. Tetapi Menaker malah mendukung program ini. Bukannya membela serikat pekerja ASPEK Indonesia yang menjadi anggota KSPI, agar terhindar dari PHK massal.
Oleh karena itu, KSPI berpendapat kebijakan pemerintahan sekarang ini khususnya di bidang tenaga kerja jauh panggang dari api terhadap perlindungan dan kesejahteraan. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Menaker di sela-sela acara peresmian Rusunawa beberapa hari lalu.
Oleh karena itu, KSPI dan buruh Indonesia dalam May Day tetap menggelar aksi. Bukan karnaval wisata. Aksi dilakukan karena Menaker gagal melindungi kesejahteraan kaum buruh. “May Day adalah aksi. May Day bukan parade karnaval. Bukan karnaval pariwisata,” pungkas Iqbal. []