JAKARTA (Panjimas.com) – Rencana Kapolri Tito Karnavian membubarkan salah satu ormas Islam dinilai melampaui kewenangannya. Kebebasan berkumpul, berserikat, berorganisasi, menyampaikan pendapat adalah hak konstitusional warga negara. Negara harus memfasilitasi hak tersebut.
“Kebebasan berkumpul, bersyarikat, berorganisasi itu tentu sejatinya juga menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” kata Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution seperti dilansir mediaumat.com, (29/4) menanggapi rencana Kapolri membubarkan HTI/Hizbut Tahrir Indonesia secara permanen.
Dikatakan Manager Nasution, dalam menjalankan hak dan kebebasannya itu wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud untuk menghormati HAM orang lain serta dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum (Pasal 28J UUDNRI tahun 1945 dan Pasal 73 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM).
Jika ada orang atau pihak manapun yang tidak setuju dengan pandangan dan gerakan organisasi apapun, maka cara yang paling elegan adalah melalui proses hukum, yaitu mengajukannya ke pengadilan. “Pembubaran terhadap organisasi/perkumpulan adalah harus berdasarkan keputusan pengadilan. Orang atau pihak manapun tidak boleh main hakim sendiri,” ujar Manager.
Hal senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Asep Warlan Yusuf, SH MH. “Itu terlalu otoriter bagi negara yang sangat menghormati perbedaan, menghormati adanya suatu pandangan dari suatu keyakinan agama,” ungkapnya.
Menurutnya, pembubaran sebuah ormas yang berbasis agama itu nampaknya perlu ada kajian substansif, kajian substansinya, apakah benar menyesatkan, apakah benar membahayakan ideologi Pancasila, sesuatu yang mengancam NKRI. Jadi tidak dengan mudah bisa dibubarkan begitu saja. Harus ada tahapan-tahapannya.
“Tidak bisa serta merta ada laporan lalu reaksinya adalah berencana membubarkan. Itu tidak proporsional, agak emosional, dan berpotensi untuk terjadinya tindakan sewenang-wenang. Jadi jangan baru ada kelompok tertentu berbicara (bahwa HTI melanggar Pancasila dan tidak sesuai NKRI, red) langsung mau membubarkan,” ujarnya.
Kalau itu dilakukan, lanjut Asep Warlan, Kapolri sudah bertindak sewenang-wenang. Dalam bahasa hukum, itu bukan dikategorikan ujaran kebencian. Tetapi bisa terkategori penyalahgunaan wewenang atau sewenang-wenang, karena yang menyatakannya adalah pejabat.
Dikatakan sewenang-wenang karena tidak cek dan ricek, tidak cermat, tidak hati-hati, tidak lihat dampak dari pernyataannya itu. Itu semua berpotensi untuk disalahgunakan atau sewenang-wenang.
Sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU tersebut juga berlaku bagi kepolisian bahwa tidak boleh ada penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang.“Kalau pribadi, siapa pun selain pejabat, bisa dikatakan sebagai ujaran kebencian,” terangnya. (desastian)