JAKARTA (Panjimas.com) – Mencermati perkembangan kehidupan bangsa akhir akhir ini, didorong oleh rasa tanggung jawab keagamaan dan kebangsaan, serta kewajiban beramar makruf dan bernahyi munkar untuk keselamatan umum, Dewan Pertimbangan MUI yang terdiri dari segenap pimpinan Organisasi/Lembaga Islam dan tokoh tokoh ulama, zuama dan cendekiawan Muslim menyampaikan Taushiah Kebangsaan Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI.
Taushiah Kebangsaan yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin dan Sekretaris Dr. H. Noor Ahmad itu dibacakan langsung oleh Prof.KH.Didin Hafiduddhin selaku Wakil Ketua Wantim MUI di Kantor MUI Pusat, Jl Proklamasi Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/4/2017) dalam Rapat Pleno ke-17 Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI.
Berikut taushiyah kebangsaan yang disampaikan KH Didin Hafiduddin:
“Dalam kaitan Pilkada serentak dan hal hal yang mengitarinya, telah menimbulkan perbedaan pandangan dan kepentingan politik yang tajam yang nyaris membawa perpecahan bangsa. Hal tersebut diperparah oleh pertentangan dan permusuhan serta sikap terhadap kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahya Purnama dan proses pengadilan yang menyertainya.”
“Oleh karena itu, kepada keluarga bangsa dipesankan agar tidak terjebak kepada pertentangan dan permusuhan. Perbedaan aspirasi dan kepentingan politik tidak harus membawa perpecahan dan terganggunya persaudaraan kebangsaan.”
“Sebagaimana Sikap dan Pandangan Keagamaan MUI tentang kasus penistaan agama pada tanggal 11 Oktober 2016 yang diperkuat dan didukung oleh Tausyiah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI pada 9 November 2016, maka harus dilakukan penegakan hukum secara berkeadilan, transparan, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.”
“Tanpa mencampuri proses peradilan, namun karena proses tersevut telah kasat mata menunjukkan hal yang patut diduga adanya campur tangan, seperti ditunjukkan oleh penundaan penuntutan dan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang cenderung membebaskan terdakwa.”
“Maka Dewan Pertimbangan MUI menilai bahwa tuntutan itu telah mengusik rasa keadilan masyarakat, khususnya umat Islam. Untuk itu Dewan Pertimbangan MUI berpesan kepada Lembaga Penegak Hukum agar berhati-hati dan berhenti dari kecenderungan mempermainkan hukum.”
Kemudian Wantim MUI juga mengajak penyelengara negara, khususnya lembaga penegakkan hukum untuk bersungguh dan secara konsisten menegakkan hukum secara berkeadilan.
“Jika adanya campur tangan pemerintah dalam proses penegakan hukum, maka hal itu potensial menimbulkan ketakpercayaan (distrust) yang kemudian membawa sikap ketidaktaatan rakyat terhadap hukum dan penegakan hukum.”
Dalam Taushiyah Kebangsaan itu juga mengajak semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk memelihara keamanan negara dan kerukunan bangsa serta menjadi perekat bangsa untuk mengembangkan toleransi dan wawasan kebhinekaan sejati, yaitu budaya dan etika untuk tidak memasuki wilayah keyakinan pihak lain dan tidak menganggu hal-hal suci yang dianut oleh pihak lain.
“Hendaknya mengedepankan akhlak agung dalam bermuamalah secara nasional. Umat Islam dituntut untuk mengokohan ibadah dan tazkiyatun nafs dalam rangka menjaga keutuhan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).”
Sehubungan dengan situasi dan kondisi kehidupan bangsa akhir-akhir ini, seyogianya segenap penyelenggara negara tidak terbelenggu dan tersandera oleh Satu Faktor Perusak dan Pemecahbelah Bangsa. Terlalu rendah derajat kita, jika hal itu terjadi, dan terlalu mahal harga yang harus dibayar jika kerusakan dan perpecahan terjadi di negeri ini. (desastian)