JAKARTA (Panjimas.com) – Secara sosiologis, Satgas Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah melihat ketidaksiapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan sesuai jadwal adalah wujud kinerja yang tidak profesional.
“Ketika JPU mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim terkait penundaan penuntutan di persidangan, apalagi alasannya karena persoalan teknis belum selesainya pengetikan tuntutan,” kata Direktur Satgas Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Gufroni, menanggapi tuntutan JPU terkait kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok.
Secara Sosiologis, Satgas Advokasi PP Muhammadiyah melihat situasi itu telah memicu kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap independensi penuntutan. Bahkan menjadi bukti nyata bahwa JPU dengan jumlah timnya sebanyak 13 jaksa tidak mampu menangani kasus Ahok ini secara profesional merupakan pelanggaran atas sumpah janji jabatan seorang jaksa.
Tuntutan JPU tidak sepenuhnya mempertimbangkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI yang dikeluarkan 11 Oktober 2016 menyatakan saudara Basuki Tjahaja Purnama perbuatannya dikategorikan : (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.
“Sejatinya pandangan keagamaan MUI merupakan sikap kebatinan umat Islam dimana mereka begitu merasa keyakinannya dinistakan atas perbuatan Terdakwa. Secara Sosiologis Tuntutan JPU telah gagal menangkap suasana kebatinan sikap Keagamaan dan pendapat MUI.”
Secara sosiologis, lanjut Gufroni, tuntutan JPU telah mengabaikan kepentingan umum dan menyederhanakan perbuatan terdakwa bukan sebagai tindakan penistaan agama sebagaimana yang dimaksud Pasal 156A KUHP.
Penuntutan oleh JPU yang sangat ringan justru bertentangan dengan jurisprudensi yang ada selama ini, dan dirasakan sebagai kecenderungan mempermainkan suasana kebatinan hukum para pencari keadilan. Hal ini jika dibiarkan maka akan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) kepada instansi penegak hukum dan dapat menimbulkan ketidaktaatan terhadap hukum dan penegakan hukum.
Isi Rekomendasi
Atas kejanggalan baik secara yuridis dan sosiologis sebagaimana diuraikan di atas, maka Satgas Advokasi PP Muhammadiyah mendesak kepada Komisi Kejaksaan Republik Indonesia akan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Komisi Kejaksaan segera memanggil dan memeriksa Terlapor bertindak sebagai Ketua Tim JPU dalam kasus penodaan Agama dengan terdakwa Ahok.
Kedua, Komisi Kejaksaan RI mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden dan DPR RI untuk meminta pertanggungjawaban penuntutan Terlapor kepada Jaksa Agung yang patut diduga kewenangan penuntutannya dilakukan tidak independen sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Pasal 37 Undang-Undang Kejaksaan agar dapat mematuhi prinsip Akuntabilitas.
Ketiga, apabila dalam pemeriksaan dugaan kewenangan penuntutan dalam pelaksanaannya dilakukan tidak independen kami meminta Komisi Kejaksaan untuk merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung memberikan sanksi kepada Terlapor sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat, Komisi Kejaksaan RI mengeluarkan rekomendasi penggantian Tim JPU yang menangani kasus Ahok kepada Jaksa Agung dengan jaksa yang memiliki prinsip mengedepankan hati nurani dan keadilan dalam melakukan tugasnya sesuai Pasal 37 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. (desastian)