JAKARTA (Panjimas.com) – Satgas Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah telah Melaporkan JPU (Jaksa Penuntut Umum) Ke Komisi Kejaksaan (Komjak) terkait Penuntutan Persidangan Penistaan Agama dengan Terdakwa Ahok .
Dalam keterangan persnya, Gufroni (Direktur Satgas Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menegaskan, satgas memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran pada jalur hukum.
“Hak menuntut dari JPU seakan melepaskan diri dari perintah Pasal 37 UU Kejaksaan. Dimana Penuntutan JPU harus adil secara hukum (aspek yuridis) dan perhatikan pula hati nurani (aspek sosiologis). Alhasil, JPU di Persidangan Penistaan Agama menuntut Terdakwa Ahok dengan Pasal 156 tuntutan 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun terhadap Ahok.”
Atas dasar itu, Satgas Advokasi Pemuda Muhammadiyah meragukan independensi penuntutan JPU berdasarkan pada aspek yuridis dan aspek sosiologis.
Aspek Yuridis
Dari aspek yuridis, PP Muhammadiyah meyakini, terdakwa memenuhi unsur dalam dakwaan JPU, yaitu Pasal 156A mensyaratkan unsur kesengajaan. Kesengajaan diterjemahkan dari bahasa Belanda opzettelijk dimana berlaku dua teori: teori pengetahuan dan teori kehendak.
“Perbuatan sengaja dapat dinilai dengan adanya perbuatan yang telah dilakukan dengan kesadarannya. Secara Yuridis, perbuatan terdakwa memenuhi unsur sengaja karena kesadaran kehendak dan pengetahuannya telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 156A.”
Secara yuridis, JPU dalam perkara Ahok diduga tidak independen terutama dalam membiarkan Terdakwa untuk menikmati kesempatan mengikuti Pilkada DKI. Seharusnya sejak awal ketika sudah masuk tahapan penuntutan, terdakwa Ahok dapat langsung ditahan mengingat Pasal dakwaan primernya yakni Pasal 156A dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.
Secara yuridis, begitu jelas pada sidang pembuktian dalam menguji barang bukti yang diajukan dipersidangan (bukti utama video pidato Ahok 27 September 2016 di Kep. Seribu dengan durasi 1 jam 48 menit 33 detik yaitu menit 24.20-24.3m).
Kemudian, kesaksian para pelapor Ketua Umum MUI tentang Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terhadap Pidato Ahok 27 September 2016 di Kep. Seribu.
Selanjutnya, adanya keterangan ahli hukum yang disampaikan Prof. Dr. Mudzakir, SH, MH, Dr. Abdul Khair Ramadhan, SH,MH. Lalu keterangan ahli agama: Dr. Hamdan Rasyid, Prof. Dr. Amin Suma, KH. Miftahul Akhyar, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc, M.Ag, Dr. Habib Rizieq Shihab.
Juga keterangan ahli Bahasa: Prof. Dr. Mahyuni, dan kemudian Keterangan 3 orang saksi dari Bangka Belitung yang mengatakan bahwa Ahok sudah berhubungan dengan isu Al Maidah 51 sejak dia maju sebagai calon Gubernur Babel tahun 2007.
“Artinya ini bisa jadi bukti petunjuk bahwa Al Maidah 51 sudah ada dalam pikiran Ahok sejak lama, maka unsur dengan sengaja sesuai pasal 156A KUHP terpenuhi. Dengan demikian berdasarkan barang bukti dan keterangan saksi serta keterangan ahli yang dihadirkan oleh JPU semuanya memberatkan terdakwa, tetapi justru sebaliknya JPU melemahkan tuntutannya sendiri.”
Secara yuridis, dakwaan dari penuntut umum terhadap terdakwa Ahok sedari awal terkesan ada keraguan dengan menggunakan Pasal Alternatif Pasal 156A dan Pasal 156 KUHP. Melalui Pasal alternatif tersebut menandakan JPU akan buktikan semua tuduhan Pasal alternatif tersebut dan memberikan keleluasaan pada hakim untuk menentukan pilihan dan putusan.
Alhasil, keraguan dakwaan JPU malah berujung ketidakseriusan maksud awal JPU agar hakim yang menentukan pilihan pada Pasal alternatif tersebut yang akan diputuskan.
Mengapa JPU malah memvonis melalui penuntutan dengan memilih Pasal 156 dengan meninggalkan Pasal 156A. Secara Yuridis Tuntutan JPU justru melemahkan dakwaannya sendiri karena semula mencantumkan Pasal alternatif dan berujung pada pilihan penuntutan hanya Pasal 156 KUHP.
Secara yuridis, tuntutan dengan masa percobaan 2 tahun terhadap Terdakwa Ahok adalah bukan merupakan kewenangan dari JPU atau salah sasaran. Pidana bersyarat atau disebut pidana percobaan adalah merupakan kewenangan hakim yang menjatuhkan pidana penjara 1 tahun atau kurungan, bagi terdakwa yang mengakui bersalah atas tindak pidana yang dilakukannya.
Sehingga hakim memerintahkan pidana yang dijatuhkan itu tidak usah dijalani di Lembaga Permasyarakatan, kecuali pada masa percobaan terpidana melanggar syarat umum dan syarat khusus yang ditentukan untuk itu. Jadi tidak pada tempatnya jika hal ini “dituntut” Penuntut Umum terhadap Terdakwa Ahok yang merasa perbuatannya bukan perbuatan melawan hukum atau suatu tindak pidana yang mengganggu kehidupan sosial masyarakat. (desastian)