JAKARTA (Panjimas.com) – Tuntutan yang telah dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang menuntut terdakwa dengan tuntutan satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun, sungguh sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.
“Proses hukum terhadap perkara penodaan agama terhadap terdakwa biasanya dituntut minimal tiga tahun. Dalam perkara ini sangat disayangkan JPU hanya menggunakan Pasal 156 KUHP, bukan Pasal 156 a KUHP sebagaimana dakwaannya,” kata Direktur PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia) Jakarta, Nurul Amalia, S.H., M.H dalam keterangan tertulisnya kepada Panjimas.
Dikatakan Nurul, rasanya tidak tepat untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa yang telah menimbulkan kegaduhan dan ketidaktenangan dalam masyarakat hanya dituntut dengan hukuman pidana percobaan, karena pidana percobaan seperti yang dituntut JPU terhadap terdakwa Ahok sangat tidak relevan dengan perbuatan terdakwa yang telah menyebabkan terganggunya ketertiban umum.
Mengenai aspek tujuan dari pemidanaan bersyarat ini, kata Nurul, sebenarnya lebih ditujukan pada resosialisasi terhadap pelaku tindak pidana daripada pembalasan terhadap kejahatannya,
“Sehingga sangat tidak tepat apabila Terdakwa penodaan agama yang pada faktanya telah menyebabkan terganggunya ketertiban umum hanya diberikan hukuman percobaan. Pada praktiknya sangat mungkin penghukuman bersyarat ini sama sekali tidak dirasakan sebagai hukuman.
Mengenai tuntutan pidana percobaan (voorwaardelijke), menurut Nurul , pada praktiknya, pidana percobaan disamakan dengan pidana bersyarat, sehingga pidana bersyarat berkaitan dengan masa percobaan selama pidana bersyarat itu dilakukan, yakni suatu pemidanaan dimana pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain.
“Itu disebabkan (salah satunya) karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut habis,” jelas Nurul.
Nurul melanjutkan, ” Kita dapat melihat ketentuan Pasal 14 huruf a KUHP yang menyebutkan sebagai berikut, apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti, maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu”.
Kemudian dalam huruf b ayat 3 disebutkan bahwa masa percobaan dapat dijalankan pada saat putusan memiliki kekuatan hukum tetap (in cracht). Dengan demikian Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara Ahok memutus sebagaimana tuntutan JPU maka Ahok tidak akan menjalankan hukuman kecuali jika kemudian hari ternyata Ahok sebelum masa percobaan berbuat peristiwa pidana kembali maka dia dapat menjalani hukumannya.
Mengutip pendapat ahli Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” (hal. 183-184) menjelaskan mengenai pidana penghukuman bersyarat (pidana bersyarat) yang diatur dalam Pasal 14a dan seterusnya dalam KUHP, bahwa apabila seorang dihukum penjara selama-lamanya satu tahun atau kurungan, maka hakim dapat menentukan bahwa hukuman itu tidak dijalankan.”
“Kecuali, kemudian ditentukan lain oleh hakim, seperti apabila si terhukum dalam tenggang waktu percobaan melakukan tindak pidana lagi atau tidak memenuhi syarat tertentu, misalnya tidak membayar ganti kerugian kepada si korban dalam waktu tertentu, ujar Nurul. (edy)