JAKARTA (Panjimas.com) – Kasus penodaan agama di Indonesia selalu menimbulkan keresahan di masyarakat. Mulai dari kasus penodaan agama yang dilakukan oleh HB Jassin pada 1968, Arswendo Atmowiloto, Lia Aminuddin, Ahmad Musadeq, termasuk ucapan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian Rabu (16/11) terkait dugaan penistaan agama menyangkut ucapannya soal surat Al Maidah 51 pada September lalu di Pulau Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Lia Aminudin, atau Lia Eden – yang mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril, tahun 2006, misalnya, oleh Pengadilan Negeri dijerat pidana dan dijebloskan ke penjara dua kali.
Pertama pada Juni 2006, divonis dua tahun karena terbukti menodai agama dan tiga tahun kemudian pada 2009 juga dengan alasan yang sama setelah polisi menyita ratusan brosur yang dinilai menodai agama.
Kemudian, Arswendo Atmowiloto – penulis yang dijeboloskan penjara karena survei tabloid Monitor, 1990 Penulis dan wartawan Arswendo Atmowiloto dipenjara selama empat tahun enam bulan. Dalam survei tokoh pilihan pembaca tersebut, Presiden Soeharto kala itu berada di tempat pertama sementara Nabi Muhammad di urutan ke-11.
Jauh sebelumnya, tahun 1968, Sastrawan HB Jassin banyak dikritik setelah menerbitkan cerita pendek Langit Makin Mendung karena penggambaran Allah, Nabi Muhammad dan Jibril dan menyebabkan kantor majalah Sastra di Jakarta diserang massa. HB Jassin telah meminta maaf namun tetap diadili karena penistaan dan dijatuhi hukuman percobaan selama satu tahun.
Lalu Ahmad Musadeq dan para petinggi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) menjalani sidang tuntutan kasus makar dan penodaan agama dituntut 12 tahun penjara.
Terdakwa lain, yakni Andri Cahya dan Mahful Muis Tumanurung, pimpinan wilayah negara kesatuan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara bentukan Gafatar juga dituntut dengan hukuman 12 tahun penjara. Terdakwa ketiga, Andri Cahya dituntut dengan hukuman 10 tahun penjara.
JPU menilai Ahmad Musadeq dan para pengikutnya telah melakukan tindakan penodaan agama berkali-kali. Ketiga terdakwa itu dijerat dengan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, kemudian Pasal 110 KUHP untuk permufakatan makar dan Pasal 64 KUHP untuk perbuatan yang berlanjut.
Sementara itu, dalam sidang lanjutan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituntut hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Tuntutan tersebut dibacakan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin Ali Mukartono di Auditorium Kementerian Pertanian, Kamis (20/4) pagi. Atas tuntutan yang ringan itu, umat Islam yang selama ini terus memantau dan mengikuti persidangan kasus penista agama menyatakan penyesalannya.
Ahok Tidak Diberhentikan
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, akan memberhentikan atau menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama dari jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta jika dalam persidangan dituntut pidana penjara lima tahun.
“Kalau besok sidang selesai terus menuntut lima tahun ya saya berhentikan sementara,” kata Tjahjo di Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Menteri Tjahjo telah mengirimkan surat permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung terkait tafsir hukum perkara yang menjerat Basuki. Tjahjo juga telah bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dan kedua wakilnya.Tjahjo mengatakan pihaknya tidak menarget apakah fatwa tersebut benar dikeluarkan Mahkamah Agung atau tidak.
Sekadar informasi, menurut Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah menyebutkan kepala daerah diberhentikan tertera dalam Pasa 83 ayat 1.Pasal tersebut berbunyi Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (desastian)