YANGON, (Panjimas.com) – Sekelompok delegasi yang terdiri dari 10 pejabat tinggi Uni Eropa dilaporkan telah tiba di negara bagian Rakhine Myanmar, lokasi dimana umat Muslim Rohingya dalam beberapa bulan terakhir menghadapi tindak kekejaman pasukan militer Myanmar.
Sepuluh petinggi Uni Eropa itu, dipimpin oleh Colin Steinbach, Kepala Politik Kantor Uni Eropa di Yangon, ia bersama timnya telah tiba di Maungdaw, sebuah kota di negara bagian Rakhine yang berbatasan langsung dengan Bangladesh.
Tim Uni Eropa direncanakan akan mengadakan kunjungan selama tiga hari.
Juru bicara pemerintah negara bagian Rakhine, Tin Maung Swe mengatakan para pejabat Uni Eropa dijadwalkan akan bertemu dengan tokoh-tokoh dari otoritas negara bagian, partai politik dan tokoh masyarakat lokal.
“Mereka tiba di Maungdaw hari Rabu (29/03) dan akan kembali ibukota negara bagian Sittwe pada hari Jumat (31/03),” jelasnya kepada Anadolu Agency melalui sambungan telepon.
Kelompok ini tiba di Sittwe, pada Selasa (28/03), di mana mereka bertemu dengan para pejabat senior dan wakil Ketua Parlemen Regional.
Puluhan ribu orang telah melarikan diri dari Rakhine sejak militer mulai melakukan operasi pembersihan Oktober lalu menyusul kematian sembilan polisi dalam serangan di pos perbatasan.
Selama operasi, PBB dan kelompok hak asasi telah mendokumentasikan pelanggaran luas yang dilakukan oleh pasukan keamanan seperti pembunuhan – termasuk terhadap anak-anak dan bayi – pemerkosaan, pemukulan brutal, pembakaran desa-desa dan penghilangan nyawa.
Pemerintah telah mengatakan sedikitnya 106 orang tewas selama operasi itu akan tetapi kelompok Muslim Rohingya mengatakan bahwa jumlah korban tewas empat kali lipat lebih banyak yakni sekitar 400 Rohingya tewas.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB memutuskan pekan lalu untuk mengirim tim misi pencari fakta ke Myanmar untuk menyelidiki dugaan pelanggaran. Namun, pemerintah Myanmar menolak keputusan PBB itu, dan mengklaim tim pencari fakta PBB malah akan mengobarkan api perlawanan dan memperburuk situasi.
Sekelompok tim terdiri dari 20 wartawan lokal dan asing juga mengunjungi Maungtaw, seperti dilansir oleh sebuah surat kabar yang dikelola negara pada hari Rabu (29/03). Pemerintah Rakhine telah membatasi gerak para wartawan dan aktivis hak asasi manusia untuk mengumpulkan fakta selama tindakan kekerasan militer berlangsung.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya masih tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Selama Oktober-November 2016, situasi di Rakhine telah menjadi kondisi paling mematikan di negara itu, terutama sejak kerusuhan antara umat Buddha dan umat Muslim yang menewaskan lebih dari 100 jiwa pada tahun 2012, sebagian besar dari korban adalah Muslim Rohingya.
Sekitar 100.000 Muslim Rohingya kini masih berada dalam keterbatasan dan hidup di kamp-kamp pengungsian kumuh di mana mereka ditolak akses gerakan, pendidikan dan kesehatannya.
Pemimpin de facto pemerintah Myanmar, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah membuat beberapa komentar publik tentang krisis Rohingya ini. Sementara pendukung hak asasi manusia internasional terus mengkritik keras diamnya Suu Kyi. Para analis politik mengatakan masalah ini menunjukkan terbatasnya kekuatan Suu Kyi dan Partai NLD dalam peemrintahan, pihak militer Myanmar masih mengontrol Kementerian-Kemeneterian kunci seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementerian Urusan Perbatasan dan Kementerian Pertahanan.
Partai NLD, pimpinan Suu Kyi, mengambil alih kekuasaan pada bulan April 2016, setelah berhasil memenangkan pemilihan umum tahun lalu, kepemimpinan NLD ini membawa Myanmar mengakhiri puluhan tahun kekuasaan rezim militer. Peristiwa baru-baru ini di negara bagian Arakan, serta konflik baru di bagian timur negara itu, antara tentara Myanmar dan kelompok pemberontak etnis, telah menyebabkan banyak pertanyaan, siapakah yang sebenarnya memegang kendali pemerintahan Myanmar? [IZ]