JAKARTA (Panjimas.com) – Klaim Gubernur Non Aktif DKI Jakarta yang juga Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) beserta tim suksesnya, bahwa di bawah kepemimpinannya, DKI Jakarta sudah menerapkan open government, dianggap tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di lapangan. Jika memang prinsip-prinsip open government sudah dilaksanakan, Bukit Duri tidak akan digusur dan reklamasi sudah dihentikan.
“Jika prinsip open government memang sudah dijalankan, Bukit Duri sekarang sudah jadi kampung deret, bukan diratakan, Teluk Jakarta tidak akan ditimbun jadi daratan demi memuaskan hasrat pengusaha properti, dan dana CSR untuk pembangunan di Jakarta bisa diakses publik, baik rencana peruntukkan, jumlahnya dan mekanisme pengelolaannya,” ujar Senator Jakarta Fahira Idris, di Jakarta (30/3)
Fahira mengungkapkan, implementasi open government tidak bisa parsial tetapi harus komprehensif. Apa yang berlaku di Jakarta sekarang masih sebatas transparansi dan keterbukaan informasi publik untuk menjalankan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Pelayanan Publik.
Sementara, untuk partisipasi publik apalagi kolaborasi dengan warganya masih minim. Ini dapat dilihat dari perilaku Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang tidak mengindahkan berbagai upaya partisipatif dan usaha kolaboratif yang dilakukan komunitas masyarakat untuk membangun Jakarta. Padahal, syarat sebuah pemerintahan dikatakan sudah mengimplementasikan open government adalah saat pemerintahan itu membuka pintu sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan masyarakat untuk berkolaborasi dan berperan aktif menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan dan persoalan-persoalan lain yang mereka hadapi.
“Semua kebijakan dan informasi juga tidak 100 persen transparan. Contoh nyata saja soal reklamasi. Publik kaget karena beberapa bagian teluk Jakarta sudah jadi daratan bahkan sudah berdiri bangunan atas izin gubernur. Tidak bisa dibantah, informasi dan kebijakan soal reklamasi tidak transparan. Apalagi kalau kita bicara soal partisipasi dan kolaborasi publik soal reklamasi. Nihil. Jangan publik luas, nelayan saja tidak. Bangunan sudah jadi, baru sibuk sosialisasikan Amdal, makanya kalah terus di Pengadilan,” tukas Wakil Ketua Komite III DPD ini.
Contoh nyata lain bahwa open government belum diterapkan komprehensif di Jakarta adalah penggusuran Bukit Duri. Selain oleh gubernur sebelumnya (Jokowi) dijanjikan akan dibangun kampung deret, Bukit Duri adalah salah satu contoh kampung di Jakarta di mana warganya begitu antusias untuk ikut mewujudkan open government dengan berpartisipasi dalam membangun Jakarta dan tidak kenal lelah mengajak Pemprov DKI Jakarta untuk berkolaborasi dalam menata kampung-kampung di Jakarta agar lebih baik. Namun faktanya, upaya mereka tidak diindahkan sama sekali.
Bahkan, lanjut Fahira, Warga Bukit Duri dibantu berbagai pakar mulai dari hidrologi, tata air, arsitek, praktisi, akademisi, ahli tata kota dan urban planner, ahli ekonomi, sampai melibatkan sejarawan dan budayawan sudah menyiapkan konsep kampung susun vertikal yang manusiawi dan sudah dipresentasikan ke Pemprov DKI Jakarta.
“Menggerakkan warga untuk membantu Pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan itu susah. Di Jakarta terbalik, warga yang punya keinginan untuk itu diabaikan. Jadi jangan bicara sudah mengimplementasikan open government selama gagasan-gagasan dari rakyat dikerdilkan karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan penguasa. Kalau sebatas upload hasil rapat ke youtube dan punya mekanisme pengaduan warga lewat aplikasi, lalu mengklaim dirinya sudah open government, itu bukan hanya sebuah kekeliruan besar, tetapi sudah gagal paham memaknai arti open government,” pungkas Fahira. [AW]