JAKARTA (Panjimas.com) – Bukan yang pertama, pihak kepolisian melarang Aksi Damai Umat Islam untuk menyampaikan aspirasinya. Kali ini pihak Kepolisian kembali mengimbau agar Aksi 313, Jumat (31/3) di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, tidak jadi dilaksanakan alias dibatalkan. Polisi khawatir aksi tersebut mengganggu jalannya masa kampanye Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.
Masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung hingga 15 April 2017. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan di Gedung KPUD, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (29/3) mengatakan, selain berpotensi mengganggu masa kampanye pilkada, aksi ini dikhawatirkan akan mengganggu ketertiban umum. Pihak kepolisian mengharapkan agar di masa kampanye ini, kota Jakarta dalam keadaan aman tanpa adanya konflik.
Sementara itu Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan, menunaikan ibadah di masjid adalah hak umat Muslim. Namun polisi melarang masyarakat yang melakukan aksi turun ke jalan pada hari itu.
Menanggapi larangan Aksi 313, Ketua Tim Advokasi GNPF MUI, Kapitra Ampera mengatakan, Aksi 313, Jumat (31/3), mendatang, tidak bisa dilarang karena bertentangan dengan Tap MPR Nomor tujuh tahun 1998 tentang hak asasi manusia. Dalam aksi 313, seharusnya presiden mendengarkan suara rakyat.
“Aksi 313 nanti adalah untuk meminta presiden mencopot (Basuki Tjahaja Purnama) Ahok yang telah menjadi terdakwa dari jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta, jika presiden menolak melaksanakan undang-undang, maka presiden telah melanggar hukum,” jelas dia kepada wartawan.
Menurutnya, Aksi 313 mendatang harus dilindungi oleh kepolisian, bukannya malah melarang. Hanya saja, dalam memberikan aspirasi tidak boleh melakukan kekerasan dan tindakan pengerusakkan.
“Negara kita adalah negara hukum bukan negara kekuasaan, setiap warga negara bebas mengeluarkan aspirasinya selagi tidak melanggar aturan. Jika pemerintah melarang, sama saja mereka melakukan state crime,” jelas dia.
Aksi umat Islam ini bertujuan agar presiden mendengar suara rakyat. Presiden harus mematuhi undang-undang. Presiden seharusnya tidak lagi menafsirkan aksi ini sebagai alat untuk memecah belah persatuan.
Membela terdakwa penista agama justru dapat memecah belah persatuan. Apalagi mengenai pendapat presiden terkait politik dan agama yang tidak dapat dipisahkan. Secara konstitusi, kata Kapitra, pemikiran presiden tidak dapat dibenarkan. Negara Indonesia dilandasi agama sejak merdeka.
Menurut dia, ada tangan Allah dalam politik. Karena ada ketuhanan di negara Indonesia. Ketuhanan merupakan pondasi Republik ini. “Indonesia bukan negara sekuler, Indonesia bukan negara atheis, bukan negara satu agama tetapi negara beragam, sehingga setiap orang yang tinggal di Indonesia wajib beragama,” kata dia.
Jika setelah aksi, presiden tetap tidak menindaklanjuti surat tersebut, maka DPR harus menggunakan seluruh haknya untuk memproses pencopotan jabatan tersebut. “DPR tidak boleh tumpul, mereka merupakan wakil rakyat, wakil suara rakyat,” ujar dia. (desastian)