JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam Diskusi publik “Pemikiran dan Perjuangan Tan Malaka” di Gedung Nusantara MPR/DPR RI di Jakarta, Senin (27/3), Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Sejarawan asal Belanda Harry A Poeze memiliki pandangan tersendiri mengenai sosok Tan Malaka.
Fadli Zon menilai Tan Malaka telah berkontribusi dalam mendirikan negara republik Indonesia dan perjuangan melawan penjajah Belanda. “Kita harus memberikan penghargaan kepada tokoh besar seperti Tan Malaka,” katanya.
Seperti dilansir Antara, Fadli Zon mengapresiasi Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluh yang memberi nama jalan sepanjang 45 kilometer dengan nama Tan Malaka. Fadli menyarankan agar beberapa tempat yang pernah disinggahi Tan Malaka, diberikana nama pahlawan nasional tersebut. “Misalnya Tan Malaka pernah singgah di Kalibata, di daerah itu bisa diberikan nama Tan Malaka sebagai nama jalan,” ujarnya.
Politikus Partai Gerindra itu menilai sosok Tan Malaka sebagai tokoh nasionalis dan muslim serta banyak melakukan aktivitas di lingkup nasional serta internasional.
Selain itu dia menilai Tan Malaka banyak memberikan gagasan kebangsaan, salah satunya membuat buku terkait pemikiran Indonesia menjadi negara republik di tahun 1925. “Itu monumental dan gagasan kebangsaan itu menjadi banyak perbincangan,” katanya.
Sementara itu, peneliti asal Belanda, Harry Poeze dalam diskusi itu memaparkan 14 karakter yang dimiliki Tan Malaka, antara lain sebagai seorang Minangkabau, Tan Malaka banyak dipengaruhi oleh latar belakang tanah kelahirannya tersebut.
Menurutnya, Tan dikenal dunia internasional sebagai tokoh yang berhasil melakukan penyamaran di sejumlah negara selama 20 tahun. “Tan Malaka dikenal sebagai pemikir, aktivis, gerilyawan, diplomat, hingga dituduh sebagai mata-mata,” kata Harry A Poeze.
Lebih jauh, Poeze mengatakan, Tan Malaka setelah selama sekitar 20 tahun mengembara di Asia dan Rusia, kembali ke Indonesia pada 1942. Setelah kembali ke Indonesia, katanya, Tan Malaka yang menjadi tokoh pelarian tetap menyamar dengan menggunakan beberapa nama.
Harry A Poeze bahkan menyebut Tan Malaka adalah seorang pemikir Islam tulen. Ia mengungkapkan dalam bukunya ‘Madilog’ Tan Malaka menyampaikan posisi Islam di Indonesia sangat penting dan istimewa.
Menurutnya, pemikiran barat sekalipun tidak bisa diterapkan di Indonesia tanpa adaptasi terlebih dahulu. “Dalam Madilog ia juga menulis tentang Islam bahwa Islam lebih unggul dan tinggi dibandingkan agama lain,” kata Poeze.
Karena itu pula, atas pemikiran tersebut Tan Malaka didukung oleh tokoh tokoh pemikir Islam intelektual lainnya. Bahkan dikatakannya, oleh orang-orang barat juga Tan dipandang sebagai pemikir Islam tulen. “Dan dia harus ditafsirkan sebagai pemikir Islam,” katanya.
Sukes dalam Penyamaran
Sementara itu, sejarawan dari Universitas Indonesia, Mohammad Iskandar menilai, Tan Malaka adalah pejuang yang kesepian dan tokoh misterius. Tan Malaka dalam perjuangannya, kata dia, berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya dan dari suatu negara ke negara lainnya, dengan berganti-ganti-nama. “Kelebihan Tan Malaka adalah mengusai sejumlah bahasa dan menggunakannya secara fasih,” katanya.
Pada saat Tan Malaka tinggal di Banten, dia menggunakan nama Ilyas Husein. Seorang keturunan Tan Malaka, Hengky Novaron Arsil mengatakan, Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Sumatera Barat, pada 1894.
Menurut dia, Tan Malaka kecil hidup dalam keluarga yang relijius, tapi gemar bermain layang-layang dan sepak bola. Tan Malaka yang di kampungnya bernama Ibrahim, kata dia, dikenal sebagai anak yang cerdas tapi nakal. “Pada usia 16 tahun, Tan Malaka sudah hafal Alquran, dan mendapat beasiswa untuk belajar di sekolah guru Fort De Kock di Bukittinggi, tempat sekolah anak-anak priyayi,” katanya.
Tan Malaka kemudian melanjutkan pendidikan ke Belanda. Di Belanda, Tan banyak belajar soal politik. Hengku juga mengakui, memiliki pemikiran yang revolusioner dan mengembara dari satu negara ke negara lainnya, selama 20 tahun, pada 1922-1942, dengan menyamar.
Menurut dia, Tan Malaka sukses dalam penyamarannya menggunakan 23 nama berbeda, karena fasih menggunakan sejumlah bahasa, baik bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Rusia, Filipina, dan bahasa lainnya. (desastian)