JAKARTA (Panjimas.com) – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tak ingin terjadi pembiaran terhadap munculnya konten negatif di media sosial, dalam hal ini Facebook. Rencananya, KPAI akan memanggil pihak korporasi Facebook, terkait dengan kasus pedofilia yang dilakukan melalui akun Official Loly Candy’s 18+.
Sebelumnya, anggota Polda Metro Jaya mengungkap praktek prostitusi khusus anak di bawah umur atau pedofilia secara online melalui media sosial dengan akun Official Loly Candys Group 18+.
Akun grup itu dibuat pada September 2014 dengan jumlah anggota mencapai 7.497 orang yang menampilkan foto porno anak di bawah umur. Akun itu menghebohkan publik karena menyebarkan konten pornografi anak-anak.
Polisi menahan empat pelaku yang berperan sebagai administrator dari akun Loly Candy’s 18+. Keempatnya adalah Wawan, 27 tahun, SHDW (16), DS (24), dan DF (17). Ada pula satu tersangka lain berinisial AAJ yang ditangkap di Bekasi, 16 Maret 2017. Dia ditangkap karena perannya sebagai member dari grup Loly Candy’s tersebut.
“KPAI minta tanggung jawab penyedia platform, dalam hal ini Facebook. Mereka tak bisa lepas tangan,” ujar Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 21 Maret 2017.
Asrorun berkata pihaknya menemukan indikasi pelanggaran berupa pembiaran terhadap munculnya konten negatif. Dia menegaskan bahwa pembiaran itu bisa dilaporkan karena memiliki konsekuensi hukum.
Meskipun begitu, KPAI memilih berdiskusi lebih dulu dengan Facebook dan kementerian terkait. Asrorun menjelaskan kasus pedofilia Loly Candy bukanlah kejahatan pertama yang memanfaatkan Facebook. “Akan ada pemanggilan khusus untuk Facebook, berdiskusi soal pertanggungjawaban perlindungan anak,” tuturnya.
Penyedia platform yang dimanfaatkan untuk kejahatan, yang dalam kasus ini adalah Facebook, menurut Asrorun, tak lepas dari tanggung jawab pengawasan. “Sama seperti kasus terorisme dan pencucian uang. Perbankan juga tanggung jawab, atau pemilik kontrakan yang dipakai teroris juga sama punya tanggung jawab, bukan hanya moral, tapi juga (tanggung jawab) hukum.”
Kerjasama dengan FBI
Sementara itu, Kepala Bagian Penerangan Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, Polri bekerja sama dengan Federal Bureau of Investigation (FBI) akan menelusuri kasus dugaan pedofilia yang melibatkan pihak asing. Kasus ini juga menggunakan teknologi karena dilakukan melalui media sosial.
“Banyak sekali anak-anak jadi korban para predator ini sehingga kita tentu ingin mencegah, dan ini untuk menyelamatkan anak-anak kita,” kata Martinus di Markas Besar Polri, Kamis, 16 Maret 2017.
Martin mengatakan upaya itu dilakukan dengan berbagai cara, termasuk kerja sama dengan FBI. “Supaya ada penangkapan tersangka lainnya atau bisa mencegah mereka masuk ke Indonesia,” ujar Martin.
Kepala Bagian Perdamaian dan Kemanusian Divisi Hubungan Internasional Komisaris Besar Ary Laksmana W. menjelaskan kewenangan penegakan hukum internasional itu ada pada Interpol. “Jadi setiap informasi-informasi yang terkait dengan kejahatan-kejahatan yang diproses negara anggota interpol maka itu akan diinformasikan dengan negara-negara melalui jalur Interpol,” katanya.
Oleh sebab itu, jika ada permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersifat international crime atau transnational crime, kejahatan itu otomatis akan dikomunikasikan. “Bukan hanya dengan FBI tapi dengan seluruh kepolisian atau lembaga penegakan hukum di dunia,” ujar Ary. “Jadi kalau ditanya apakah sudah komunikasi dengan FBI, itu sudah otomatis. Tapi apakah ada intensitas kerja sama, karena sifatnya multilateral maka kita juga bisa lakukan secara bilateral.”
Ary mengatakan Polri memiliki atase kepolisian di Amerika Serikat, tepatnya di Washington DC. “Ada seorang kombes di sana, tugasnya menjembatani permasalahan-permasalahan yang bersifat bilateral,” ucap Ary. (desastian)