JAKARTA (Panjimas.com) – Dikabulkannya gugatan nelayan dan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta atas reklamasi Pulau F, I dan K oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta, harusnya membuka mata seluruh warga Jakarta bahwa proyek reklamasi yang begitu gencar dilakukan Gubernur Non Aktif Basuki Tjahaja Purnama, bukan hanya akan menimbulkan kerusakan terhadap ekosistem teluk Jakarta.
“Tapi juga menutup akses sosial ekonomi nelayan tradisional yang sudah berada di pesisir Jakarta selama ratusan tahun, tetapi juga dilingkari oleh berbagai pelanggaran hukum. Mirisnya, semua pelanggaran ini dilakukan dengan begitu leluasanya,” demikian dikatakan Senator Jakarta Fahira Idris dalam siaran pers yang diterima Panjimas.
Fahira mengungkapkan, bahwa apa yang dilakukan para nelayan dan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, sebenarnya bukan sekedar agar nelayan bisa melaut lagi, tetapi agar kota ini terhindar dari bencana ekologis akibat kerakusan para pemodal.
“Apa yang diperjuangkan para nelayan sudah menyelamatkan kota dan warga Jakarta. Makanya, janji kerja Anies-Sandi yang segera menghentikan Reklamasi Teluk Jakarta jika terpilih adalah sikap tegas yang tepat karena memang itulah satu-satunya solusi untuk menghentikan semua pelanggaran yang terjadi dalam proyek reklamasi,” ungkap Fahira.
Tolak Reklamasi sudah jadi janji kerja utama Anies-Sandi jika terpilih. Harusnya Ahok-Djarot Kampanyekan Lanjutkan Reklamasi karena mereka sangat yakin reklamasi punya manfaat besar bahkan menguntungkan bagi kota Jakarta dan warganya. “Tetapi anehnya dari amatan saya, jargon Lanjutkan Reklamasi tidak pernah muncul dalam kampanye mereka, apalagi jadi program utama,” tukas Fahira, di Jakarta (21/3).
Fahira menyakini ‘kotak pandora’ berbagai pelanggaran proyek reklamasi akan semakin terbuka jika Anies-Sandi terpilih. Berbagai dalih yang mengatakan bahwa tidak ada pilihan selain melanjutkan reklamasi karena sudah diputuskan sejak masa orde baru.
“Klaim yang menyatakan reklamasi harus ada demi tersedianya dana membangun tanggul di sepanjang pantai dan riset pembuatan giant sea wall, apalagi klaim yang menyatakan bahwa dengan proyek reklamasi dana untuk menata kampung nelayan akan tersedia, adalah klaim yang tidak berdasar dan sangat mudah dipatahkan.”
Menurut Fahira, kalau Gubernur tidak punya kewenangan menghentikan reklamasi, tidak mungkin Anies-Sandi berani menjadikanya sebagai janji kerja yang bakal ditagih warga. Selain itu, pembuatan tanggul yang jadi salah satu bagian NCICD (National Capital Integrated Coastal Development/Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara atau yang lebih dikenal dengan nama Tanggul Laut Raksasa) fase A tidak ada hubungannya dengan reklamasi.
“Kalau memang (reklamasi) akan memakmurkan nelayan, kenapa nelayan mengajukan gugatan. Logika kita sedang dibolak-balik. Reklamasi itu kaitan eratnya hanya dengan pengembang dan bisnis properti. Itu saja, tidak ada irisannya dengan kemakmuran nelayan,” tegas Wakil Ketua Komite III DPD ini.
Fahira berharap dengan dengan kemenangan yang diraih nelayan ini semakin membuka mata warga Jakarta bahwa reklamasi adalah persoalan seluruh warga Jakarta bukan hanya nelayan. Warga Jakarta harus merapatkan barisan menolak reklamasi, terlebih Pemprov DKI Jakarta berencana akan mengajukan banding.
“Sejak awal memang sudah ada prakondisi agar proyek reklamasi ini tidak menjadi konsumsi publik. Mungkin ini yang membuat banyak warga Jakarta tidak aware soal reklamasi. Makanya kita sangat sulit mencari dokumen-dokumen terkait reklamasi.
Konsultasi publik dalam penyusunan AMDAL juga tidak dilakukan sesuai aturan, tahu-tahu izin sudah keluar dan bangunan sudah berdiri. Dan ini semua terjadi terjadi pada masa gubernur mengklaim dirinya paling transparan,” pungkas Fahira. (desastian)