GAZA (Panjimas.com) – Blokade Israel atas wilayah Jalur Gaza tak kunjung berakhir. Lebih satu dekade sudah, warga Gaza hidup dalam kesulitan. Krisis di berbagai lini kehidupan pun tak kunjung henti, mulai dari krisis listrik, obat-obatan, pangan, hingga langkanya lapangan pekerjaan.
Sejak pecahnya perang di Suriah dan beberapa negara lainnya di tahun 2014, bisa dikatakan bahwa bantuan kemanusiaan untuk rakyat Gaza kian berkurang. Semua ini tak lepas dari sulitnya akses menuju Gaza melalui pintu perlintasan Raffah di perbatasan Mesir-Palestina.
Bagi para pedagang, pintu perlintasan Erez adalah jalur alternatif untuk memasok dagangan mereka ke wilayah Gaza. Erez adalah pintu perlintasan yang terletak di Baitu Hanun, Gaza Utara, yang merupakan perbatasan antara Gaza-Israel. Selain Erez, gerbang Kareem Abo Salem adalah pilihan lain bagi pedagang untuk memasuki wilayah Gaza.
Dengan memblokade, Israel melarang seluruh bantuan kemanusiaan memasuki wilayah Jalur Gaza, baik bantuan makanan, material bangunan dan obat-obatan. Israel juga melarang warga asing memasuki wilayah Gaza, apapun alasannya.
Bahkan, warga Gaza sendiri hampir-hampir tidak memperoleh peluang untuk keluar bahkan memasuki tanah kelahiran mereka. Kini, ribuan warga Gaza hidup terlunta-lunta di negara lain dan bandara-bandara internasional lainnya.
Bisa dikatakan, semua sektor kehidupan di Jalur Gza sedang dilanda krisis. Blokade telah melahirkan kesulitan hidup dan keterpurukan. Tak kurang dari 25.000 lulusan sarjana dan spesialis dilahirkan dari universitas di Jalur Gaza setiap tahunnya. Tapi, jumlah ini justru menambah angka pengangguran karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan.
Di satu sisi, tingginya angka kelahiran di Jalur Gaza tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi di Jalur Gaza. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan, menjadi “kanker mematikan” bagi para orang tua dan para suami di wilayah ini. Betapa tidak, tanggung jawab para suami bertambah seiring kelahiran anak-anak mereka.
Selain kebutuhan hidup sehari-hari, para suami pun harus memenuhi kebutuhan bayi dan istrinya yang baru saja melahirkan, seperti; susu, popok, sabun, shampo, baju dan selimut hangat musim dingin. Di Jalur Gaza, harga kebutuhan-kebutuhan tersebut tidaklah murah. Belum tentu semua suami dapat memenuhi kebutuhan itu.
Berdasarkan informasi dari RS. Shifa Gaza City, yang juga dilansir oleh pihak Kementrian Kesehatan Jalur Gaza Palestina, disebutkan bahwa dalam satu hari tidak kurang dari 165 bayi lahir. Ini berarti, dalam satu bulan tidak kurang dari 5.000 bayi lahir di Jalur Gaza. Hingga tahun 2016, Jalur Gaza yang terblokade, dihuni oleh 2 juta jiwa pada wilayah yang hanya berukuran 367 Km persegi.
Tidak semua rumah sakit di Jalur Gaza memiliki ruang khusus persalinan atau ruang intensif bayi. Hanya enam rumah sakit yang memiliki ruang khusus ibu dan bayi, baik rumah sakit khusus maupun umum, yang memiliki ruangan khusus persalinan.
Rumah Sakit Ash-Shifa adala rumah sakit rujukan milik pemerintah yang terbesar di Palestina. Disebut rumah sakit rujukan karena hampir semua departemen, ruangan dan dokter spesialis terdapat di sini.
Atas dasar inilah, dengan berkoordinasi dengan Rumah Sakit Ash-Shifa, secara rutin Program Bantuan Perlengkapan Bayi dan Ibu Melahirkan terselenggara setiap tahun, bahkan setiap enam bulan. Desember 2016 – Februari 2017, telah dilakukan penggalangan dana dan berhasil menerima sumbangan mulai dari Rp. 20.000 hingga Rp.1.000.000, bahkan Rp. 10.000.000. (Onim/des)