JAKARTA (Panjimas.com) – Nyaris 20 tahun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi anti penyiksaan. namun praktik penyiksaan masih saja terjadi. Masih segar dalam ingatan, kisah Andro dan Nurdin, pengamen Cipulir yang bebas dari tuduhan pembunuhan.
Setelah itu, Dedi seorang tukang ojek, yang bebas dari tuduhan pembunuhan, juga menjadi korban salah tangkap, bahkan hingga anaknya meninggal saat ia dalam tahanan. Belum lagi kasus Ismail, yang dituduh melakukan pencurian di ATM.
Jika ditelusuri, ketiga korban salah tangkap tersebut mempunyai kesamaan permasalahan awal bukti didapat dari hasil penyiksaan. Pada tahun 2015 LBH Jakarta menerima pengaduan atas 13 kasus individu dan 5 kasus kelompok terkait penyiksaan.
Siapa pun akan berusaha untuk menanggung sakit dipukul, disetrum, ditenggelamkan, ditendang atau ditembak. Jika itu terjadi pada dirinya, apapun akan dilakukan untuk menghindarinya, termasuk memberikan pengakuan hal yang tidak dilakukannya.
Kali ini, tragedi itu kembali pada Asep Sunandar bin Sobri, pemuda asal Serang, yang bekerja di Jakarta sebagai
tukang potong kain di sebuah konveksi. Ia dituduh melakukan pencurian dengan kekerasan yang terjadi pada 11 Agustus 2016 di Taman Sari, Jakarta Barat.
Bunga Siagian selaku Kuasa Hukum Asep dalam acara konferensi pers di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/3/2017), menjelaskan secara detail penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap Asep, seorang mantan santri dari salah satu Pondok Pesantren yang berada di Serang.
“Asep ditangkap pada tanggal 13 Agustus 2016 dini hari pukul 03.00. Saat itu, ia sedang tidur bersama ketiga temannya di kontrakan sekitar Kebon Sayur, Jakarta Barat. Tiba-tiba sekelompok orang, yang selanjutnya diketahui adalah polisi, masuk ke dalam kamarnya dan mencari Asep. Seseorang yang dikenal Asep ada bersama Masrudin alias Adit. Adit selanjutnya menunjuk ke arah Asep.
Lalu polisi tersebut memukul Asep dan menutup matanya, lalu membawanya. Tiga teman Asep yang bernama Husni, Dicky dan Amrul pun dipukul serta dibawa oleh polisi tersebut. Mereka berempat dibawa ke dalam sebuah mobil.” kata Bunga Siagian di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/3/2017).
Selanjutnya, tutur Bunga, Asep dibawa ke tempat yang tidak dikenalnya. Disitu ia kembali disiksa dengan dipukul dan disuruh mengakui, bahwa dirinya adalah pelaku perampokan di Taman Sari bersama Adit. Karena tidak kuat menahan siksaan, Asep pun mengaku.
“Kemudian Asep digiring. Saat digiring Asep mendengar ada suara tembakan, tidak lama setelah itu, badan dan kakinya dipukul hingga lutut. Asep terjatuh ke tanah. Kaki Asep dipegang oleh Polisi dan ditembak pada bagian betis tanpa alasan apapun.” terangnya.
Dikatakan Bunga, tindakan-tindakan yang dilakukan anggota kepolisian tersebut merupakan penyiksaan. Sesungguhnya ketentuan tentang penyiksaan sudah diakomodir dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah disahkan pada tahun 1981, yaitu Pasal 422 KUHP yang mengatur bahwa “Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksa, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana paling lama empat tahun.”
Selain pidana, anggota kepolisian pelaku penyiksaan juga melanggar ketentuan peraturan internal dan etik yang tertuang dalam Pasal 14 huruf c, d, e, f Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.” tambahnya.
Lebih lanjut, menurut Bunga, berdasarkan Pasal 15 Konvensi Anti Penyiksaan juga mengatur bahwa bukti yang diperoleh dari hasil penyiksaan semestinya tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Oleh karenanya, didampingi oleh LBH Jakarta Ibu Sonah (Ibunda Asep) melaporkan perkara penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan Kepolisian Taman Sari tersebut ke Bareakrim Mabes POLRI pada tanggal 16 Maret 2017 lalu. Selain itu, Ibu Sonah juga melaporkan ke Propam Mabes POLRI para tanggal 17 Maret 2017. “Keduanya berjanji akan menelusuri kasus.” tandas Bunga. []