JAKARTA (Panjimas.com) – Kebijakan Dewan Pers yang menerapkan Verifikasi dan Barcode serta penetapan legalitas Hukum harus PT untuk setiap Perusahaan Pers nasional menuai polemik. Beberapa Instansi pemerintah baik Pemprov maupun Pemkab telah melarang sejumlah wartawan untuk tidak meliput di kantor mereka.
Beberapa jurnalis juga mengeluhkan adanya penolakan instansi bagi media yang legalitasnya belum PT. Padahal dalam UU Pers tidak disebutkan secara mutlak badan hukum Perusahaan Pers harus PT, namun ketentuan itu diterapkan oleh Dewan Pers melalui selebaran di beberapa Instansi daerah. Terkait dengan hal itu, penolakan-pun terjadi bagi Wartawan yang medianya belum terverifikasi dan belum berlegal hukum PT.
Ketua Sekretaris Nasional FPII (Forum Pers Independent Indonesia), Mustofa Hadi Karya alias Topan menilai Dewan Pers tidak adil dan tidak berkepihakan terhadap para pekerja pers dan juga terhadap media massa yang tidak terverifikasi.
Menurutnya, banyak contoh kasus yang merugikan wartawan, seperti pemukulan dan berbagai tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh narasumber dengan memakai centeng/preman, untuk mengintimidasi pekerja pers, justru tidak pernah terselesaikan bahkan, intimidasi dan kekerasan masih terjadi.
“Sebagai insan Jurnalis Pekerja pers, kami merasakan adanya diskriminasi yang dilakukan oleh Dewan Pers (DP), maka FPII memandang perlu agar Insan Pers yang merupakan wujud dari pelaksana UUD bahwa kebebasan berserikat dan berpendapat adalah hak setiap warga negara,” beber Topan dalam siaran pers yang diterima Panjimas, Sabtu (18/3/2017).
Dikatakan Topan, apalagi bagi para media yang sudah berbadan hukum, maka perlu adanya tindakan nyata untuk melindungi dan menaungi insan Pers dari belenggu Verifikasi dan pembungkaman.
Hal senada disampaikan Hefrizal, Kepala Deputi Jaringan dan Publikasi FPII, bahwa requirement (persyaratan) yang dibuat oleh Dewan Pers terkait pendaftaran bagi media untuk dapat terverifikasi, FPII menganggap bahwa persyaratan tersebut hanya dapat dipenuhi oleh media berskala besar tanpa mengindahkan para media yang berskala menengah ke bawah.
“Pemberlakuan UU khusus profesi (UU Pers) yang tidak diberlakukan kepada media-media non verifikasi, FPII menganggap bahwa masalah tersebut merupakan upaya pengkebirian pelaku pencari warta untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistiknya,” ungkap Hefrizal yang juga sebagai Koordinator Aksi Nasional FPII pada 20 Maret 2017 nanti.
Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam melakukan peliputan bagi media non verifikasi akan dikenakan KUHP bukan atas dasar UU Pers apabila terjadi kesalahan dalam peliputan atau dalam penulisan.
Tak cuma itu, FPII menurut Hefrizal, mengetahui adanya isu akan didorongnya Panja di DPR RI yang nantinya akan mengarahkan UU Pers ke KUHP terhadap media non verifikasi, FPII memandang Panja tersebut merupakan upaya kriminalisasi terhadap perusahaan Pers berskala kecil.
“Ini bisa mengarah pada proses Kriminalisasi dengan tidak adanya pengakuan dan perlakuan khusus bagi profesi jurnalis sebagai profesi yang khusus bagi media non verifikasi, “lex specialis derogat legi generalis, atau aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan adanya isu yang berkembang belakangan ini mengenai surat edaran tentang “hanya 74 media terverifikasi yang bisa melakukan peliputan” menimbulkan kesalahpahaman bagi para instansi sebagai objek peliputan dengan para insan pers sebagai pencari berita.
“Oleh karena itu, FPII meminta kepada Dewan Pers agar memberikan keterangan yang sebenarnya kepada instansi yang bersangkutan, bahwa berita tersebut “tidak benar adanya” dalam bentuk selebaran atau dengan mengundang insan pers utk melakukan konferesi pers terkait masalah tersebut,” tegasnya. (desastian)