JAKARTA (Panjimas.com) – Lajnah Bahtsul Masail dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor mengeluarkan keputusan bahwa seorang muslim tidak diharamkan untuk memilih pemimpin non-muslim (12/3).
Dalam sebuah diskusi keagamaan dengan tajuk “Kepemimpinan Nonmuslim dalam Pandangan Islam”, Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor Yaqut Cholil menyatakan kepemimpinan yang baik haruslah mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh sebab itu, dia memandang pemimpin bukan sekedar dari latar belakang agama.
“Kepemimpinan yang kita anut itu pemimpin yang bisa memberikan maslahat kepada masyarakat, yang bisa memberi manfaat pada masyarakat. Kita nggak lihat latar belakang agama, suku dan seterusnya, tapi apakah pemimpin itu bisa memberi manfaat bagi masyarakat,” kata Yaqut di Kantor PP GP Ansor, Jalan Kramat Raya, Jakarta Selatan, Sabtu (11/3).
Yaqut enggan mengomentari tentang tafsiran Al Ma’idah ayat 51. Menurutnya hal itu adalah urusan dari para ahli tafsir. “Kalau Al Ma’idah, perdebatan soal tafsir itu panjang. Tafsir itu ada banyak metodenya, kita serahkan kepada orang dan kelompok orang yang punya otoritas. Jangan semua orang merasa berhak menfasirkan Al Qur’an, apa lagi cuma bermodal terjemahan dari Kemenag,” ungkapnya.
Dia pun menyayangkan adanya upaya politisasi terhadap agama Islam. Menurutnya penggunaan agama dalam politik cenderung dipilah-pilah dan hanya menggunakan kaidah yang dianggap menguntungkan.
“Kami ambil sikap bukan untuk memenangkan salah satu calon tapi bagaimana meminimalisir usaha-usaha untuk mempolitisasi Islam. Tentu saja ketika Islam dibawa ke ranah politik yang digunakan hanya kaidah-kaidah yang dianggap meguntungkan saja,” jelas Yaqut.
Sikap PBNU
Sebelumnya, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU, Rumadi Ahmad mengatakan, kendati MUI dan Muhamadiyah sudah jelas mengatakan memilih pemimpin kafir tidak boleh, namun NU punya fatwa yang membolehkan.
“NU membolehkan memilih pemimpin non muslim dalam tiga keadaan. Pertama, tidak ada muslim yang mampu menjadi pemimpin. Kedua, pemimpin muslim yang ada dianggap berpeluang berkhianat. Ketiga, non muslim tersebut tidak berbahaya bagi umat Islam,” katanya dalam diskusi bertema “PKB: Ahok atau Anies”, di Tebet, Jakarta Selatan, pada Februari lalu.
Rumidi merujuk pada hasil muktamar NU di Pesantren Lirboyo, Jawa Timur pada tahun 1999. Di mana diperbolehkan memilih pemimpin non-muslim jika, pertama, memang tidak ada orang Islam yang mampu memimpin.
Kedua, ada calon pemimpin yang beragama Islam, tapi karena dikhawatirkan berkhianat, maka diperbolehkan memilih alternatif non-muslim. Ketiga, jika pemimpin non-muslim dianggap tidak menjadi ancaman bagi umat Islam.
Keempat, jika merujuk pada ayat yang mengharamkan asbabul nuzul-nya dianggap pada situasi peperangan, maka menjadi kurang relevan karena situasi saat ini sedang damai.
Pada era Muktamar NU 1999 berlangsung, situasi sedang pada masa Pemilu pertama era reformasi. Pemilu yang kemudian menghasilkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dengan Megawati sebagai Wakil Presiden memunculkan penolakan karena sosok Megawati yang dianggap tidak layak menjadi pemimpin karena perempuan. (desastian/dbs)