BOGOR (Panjimas.com) – Suatu ketika tokoh munafik Abdullah bin Ubai meninggal dunia, kemudian putranya datang kepada Nabi Muhammad SAW agar mau menshalatkan ayahnya, dan saat itu Nabi menyanggupinya. Ketika Nabi datang dan bersiap mengimami shalat jenazah, saat itu muncul pertanyaan dari sahabatnya Umar bin Khattab.
Umar bertanya berdasarkan surat At Taubah ayat 80 yang isinya bahwa dimohonkan ampun atau tidak itu sama saja, Allah tidak memberikan ampunan kepada kaum munafik. Bahkan jika memohon ampun tersebut dilakukan sebanyak 70 kali, tetap Allah tidak mengampuni mereka karena telah inkar kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mendengar pertanyaan tersebut, maka Nabi menjawab ia akan menambah istighfarnya lebih dari 70 kali, hal tersebut sesuai dalam penjelasan dalam Tafsir Ibnu Katsir. “Ini menandakan betapa sayangnya Nabi kepada umatnya. Bahkan kepada orang kafir yang meninggal sekalipun Nabi ikut bersedih, sedih buka karena kekafirannya tetapi karena belum sempat mengislamkannya,” jelas Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq saat pengajian di Pesantren Agrikultural Markaz Syariah Bogor, Jumat (10/3/2017).
Kata Habib, keterangan tersebut sering dijadikan dalil oleh kelompok-kelompok yang membolehkan menshalatkan jenazah orang munafik. Di ayat tersebut Allah belum memberikan larangan secara tegas. Namun, masalah ini tidak berhenti disitu, ada ayat berikutnya. “Jadi kalau memahami ayat jangan separuh, baca kelanjutan ayatnya,” katanya.
Habib Rizieq melanjutkan, setelah kejadian itu turunlah ayat berikutnya yaitu At Taubah ayat 84 yang isinya agar jangan lagi menshalatkan orang munafik, bahkan menziarahi kuburannya pun dilarang. Hal tersebut dikarenakan mereka sudah nyata inkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mati dalam keadaan fasik. “Dan setelah turun ayat ini sampai akhir hayatnya, Nabi tidak lagi menshalatkan orang munafik,” jelasnya.
Habib menambahkan, dalam konteks hukum Islam, ini yang disebut Nasikh Mansukh, At Taubah ayat 80 sudah dimansukh, artinya hukumnya tidak berlaku lagi, diganti hukumnya oleh At Taubah ayat 84.
“Kemudian, masih dalam tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa jika Nabi diundang menshalatkan jenazah yang belum terlalu dikenal, niscaya beliau akan bertanya dahulu. Jika si jenazah adalah Muslim yang baik maka Nabi menshalatkan, tetapi sebaliknya jika orang tersebut buruk agamanya maka Nabi mendatangi keluarganya dan menyerahkan kepada keluarga untuk mengurusinya dalam rangka memenuhi fardu kifayah, setelah itu Nabi pulang (tidak menshalatkan) dan para sahabat mengikuti,” tambahnya.
Lalu bagimana jika sifat munafiknya tidak ketahuan, maka kata Habib Rizieq, jenazah tersebut tetap dishalatkan, sementara munafiknya urusan Allah. “Tetapi yang munafiknya jelas kelihatan, sudah dinasihati ulama malah melawan, dia fasik secara terang-terangan, maka tidak boleh dishalatkan,” jelasnya.
“Maka itu, kita jangan menyalahkan kalau ada ulama yang tidak mau menshalatkan jenazah yang misalnya mati bunuh diri atau sedang maksiat secara terang-terangan. Itu hak ulama yang harus dihormati, dan jangan dipaksa. Ulama penting punya sikap, khususnya ulama panutan, sikap ulama tersebut memberikan pesan efek jera, sehingga orang tidak sembarangan melakukan maksiat karena takut tidak dishalatkan, maksudnya jangan sampai ada yang berani maksiat lagi,” tambahnya.
Kata Habib Rizieq, sama seperti di Jakarta saat ini, jangan kaget kalau ramai di berita ada sejumlah DKM Masjid yang tidak mau menshalatkan orang munafik yang mendukung calon pemimpin kafir. “Keputusan pengurus masjid dan masyarakat itu sah-sah saja. Dan ini jadi pelajaran, karena masalah kepemimpinan ini urusan besar,” tandasnya. (des/SI)