JAKARTA (Panjimas.com) – Kabar tentang kering dan gersangnya Somalia di awal tahun 2017 bukan lagi urusan sepele. Kekeringan ini berubah menjadi krisis kemanusiaan skala massif, pertanian terganggu dan berimbas kelaparan jutaan orang.
Tidak hanya itu, kekeringan kelaparan juga memicu rentetan penyakit menular serupa diare, kolera, dan malnutrisi akut, hingga berujung kematian. Perdana Menteri Somalia pada awal Maret lalu (4/3) mengatakan, dalam dua hari terakhir sudah 110 jiwa tewas karena kolera dan malnutrisi.
Pangkal masalahnya satu, yakni kekeringan yang menghebat sepanjang tahun. Untuk mengatasinya, bukan hanya mencegah angka kelaparan bertambah luas dengan memberikan pasokan makanan, tapi juga merespons sumber daya orang-orang Somalia agar mampu bertahan di tengah hantaman kekeringan serupa di tahun-tahun ke depan.
Tentu air adalah kebutuhan paling krusial di Somalia. Dunia harus bergerak cepat untuk Somalia. Namun, yang dibutuhkan bukan hanya gerak reaktif, perlu langkah panjang untuk membantu kekeringan di Somalia, diantaranya membuat irigasi dan waduk air bersih yang menampung air hujan dalam jumlah dan waktu yang lama.
Setahun yang lalu, Aksi Cepat Tanggap (ACT) bertandang ke Baidoa, wilayah sebelah Barat Laut Mogadishu. Di wilayah gersang dan terik ini, kelaparan dan dilema kolera Somalia pertama kali merebak. Di Baidoa, ACT menyimak pangkal masalah ini.
Ada masalah pelik dalam urusan menabung air bagi warga Baidoa. Sumur yang digali warga setempat tak sedikitpun mengeluarkan air, sebab kedalamannya tidak lebih dari 20 meter.
Untuk merespon kelaparan di Somalia, ACT sedang dalam perjalanan menuju Kota Mogadishu. Dari Jakarta tim ACT berangkat menuju Somalia via Istanbul, Turki. Hanya lewat Istanbul kota penghubung satu-satunya paling dekat untuk mencapai Mogadishu. Tidak ada penerbangan lanjutan yang menghubungkan Asia dengan Mogadishu selain lewat Istanbul.
Di Baidoa, Tim ACT akan mendistribusikan ribuan paket pangan. Sebarannya menjangkau desa-desa gersang di Mogadishu, Baidoa sampai ke Doolow di utara Somalia. Selain itu, tim ACT juga bakal mendata kebutuhan untuk pembangunan sumur.
“Perkiraannya satu buah sumur di Baidoa membutuhkan kedalaman hingga 350 meter baru menemukan air. ACT perlu berbuat sesuatu untuk jangka panjang agar bisa mengatasi kekeringan Somalia di tahun berikutnya,” kata Andi Noor Faradiba dari Global Humanity Response, ACT. (SS Rijal/des)