KLATEN (Panjimas.com) – Tak terasa sudah satu tahun kematian Siyono karena ulah brutal Densus 88. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibantu PP Muhammadiyah tergerak melakukan outopsi jenazah Siyono untuk mengetahui banyaknya kejanggalan termasuk penyebab kematian Siyono.
Keluarga Siyono pun pasrah atas semua perlakuan yang diterimanya kala itu. Bagi orang desa yang hidup di kampung Brengkungan, Pogung, Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Marso ayah Siyono merasa takut jika harus berurusan dengan Polisi.
Hanya bermental keteguhan iman dirinya tidak gegabah memberikan keterangan, termasuk saat pertama di tanya tentang perasaannya mengetahui sudah satu tahun kasus anaknya tidak ada perkembangan. Berlogat jawa, dengan lugu Marso menjawab beberapa pertanyaan wartawan.
“Kulo dewe niku mboten ngertos nopo-nopo (Saya sendiri itu nggak tahu apa-apa). Kulo semriki niku ditorak-tarik, kulo pun matur nek kanggone wong desa, ngoteniku niki ling kuasa Polisi kok. (Saya sampai sekarang dibawa ke sana-sini, saya sudah bilang kalau bagi orang desa, seperti itu yang kuasa kayaknya Polisi),” katanya, Kamis (9/3/2017).
Marso pun mengenang kembali kejadian penggrebekan dirumahnya yang membuat shock keluarganya. Kedatangan Densus 88 bersenjata lengkap, menggledah rumahnya, mengobrak-abrik isi setiap sudut rumah bahkan membawa linggis, membuat trauma cucu-cucunya. Sementara dirinya sebagai orang desa tidak tahu maksud dan tujuan penggledahan itu.
“Tegese ora menghargai wong cilik, wong cilik ora ono ajine. Omahe wis dinggo bludusan wong sak pirang-pirang tujuane opo, sing digoleki opo, sing due omah ki ora ngerti. (Artinya itu tidak menghargai orang kecil, orang kecil tidak ada harga dirinya. Rumahnya di masuki orang banyak yang tujuannya apa, yang dicari ya apa, kok yang punya rumah tidak tahu),” ujarnya.
“Yen ngomong pak, aku ditugaske soko kono pak, goleki barang koyo ngene pak, lha niku jenenge jelas. Ngerti-ngerti goleki turut mburi omah, kamar tidur, cor-cor digejluki linggis, entek-entekane jur kendaraan digowo. (Kalau bilang pak saya ditugaskan dari sana pak, cari barang kayak gini pak, lha itu namanya jelas. Tahu-tahu masuk cari dibelakang rumah, kamar tidur, lantai dilinggis, akhirnya cuma kendaraan dibawa),” imbuhnya.
Marso tidak banyak berbaharap dengan proses hukum yang berjalan jika melihat pemerintahan saat ini. Keadilan yang diharapkan keluarga Siyono seakan mustahil bisa didapatkan, menurutnya orang yang memiliki jabatan atas seorang pengacara saja tidak bisa banyak berbuat atas proses hukum tersebut, apalagi dirinya sebagai orang desa yang buta akan urusan hukum.
“Intine kulo sampun masrahke kali pak Husni, kalih pengacara, pripun supados angsal keadilan. Pakoke pasrah, kulo wong cilik nggeh ajeng nopo, koyoto sing wong gedhe sing jenengan critake wau, pengacara ngantos sakniki nggeh koyo ngoten. Nopo malih wong cilik kados kulo. (Intinya saya sudah memasrahkan pada pak Husni, sama pengacara, bagaimana supaya dapat keadilan. Saya orang kecil mau gimana, seperti yang anda ceritakan tadi, pengacara sampai saat ini juga belum ada perkembangan. Apa lagi orang kecil seperti saya),” tuturnya. [SY]