JAKARTA (Panjimas.com) – Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto bersama-sama dengan anggota DPR saat ini Setya Novanto didakwa melakukan korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektornik (KTP-E) 2011-2012.
“Terdakwa I Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan terdakwa II Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri 2011 bersama-sama dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang/jasa pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Isnu Edhi Wijaya selaku Ketua Konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI), Diah Anggraini selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri, Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar dan Drajat Wisnu Setyawan selaku Ketua panitia pengadaan barang dan jasa pekerjaan KTP elektronik (KTP-E) 2011-2012 telah mengarahkan untuk memenangkan perusahaan tertentu yaitu untuk memperkaya para terdakwa dan orang lain,” kata ketua jaksa penuntut umum KPK Irene Putri di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Jaksa menyebutkan sejumlah orang yang ikut menikmati aliran dana KTP-E yaitu Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, Drajad Wisnu Setiawan beserta 6 orang panitia pengadaan, Husni Fahmi beserta 5 orang tim teknis, Johannes Marliem, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly Dondokambey.
Selanjutnya Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, Taurfik Effendi, Teguh Djurwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agung Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryan S Haryani, Numan Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasona Laoly.
“Dan 37 anggota Komisi II DPR lain serta memperkaya korporasi yaitu Perum Percetakan Negara RI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo, manajemen bersama Konsorsium PNRI yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun,” tambah jaksa Irene.
Dugaan korupsi itu dilakukan dengan mengatur proses penganggaran, pelelangan dan pengadaan proyek KTP-E dalam kontrak tahun jamak senilai Rp5,952 triliun dengan pembagian pada 2011 sejumlah Rp2,291 triliun dan pada 2012 sejumlah Rp3,66 triliun.
Dalam proses penganggaran, pada November 2009, Gamawan Fauzi meminta Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk mengubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan) NIK yang semua dibiayai menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari APBN murni.
Usulan itu lalu dibahas dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat (RDP) antara Kemendagri Komisi II DPR. Selanjutnya sejak Februari 2010 sampai Desember 2012, Irman dan Sugiharto secara teratur dan terus-menerus menemui Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Burhanudin Napitupulu, Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto, Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum, M Nazaruddin, Ketua, Wakil Ketua dan anggota Komisi II DPR RI yaitu Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Efendi, Teguh Djuwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni, Arief Wibowo dan Miryam S Haryani.
Dalam pertemuan-pertemuan itu juga mengikutsertakan Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi dan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni, pengusaha rekanan Kemendagri Andi Agustinus, Staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Husni Fahmi.
Untuk melancarkan pembahasan anggaran KTP-E, Irman dan Sugiharto mengucurkan uang kepada 54 anggota Komisi II DPR (merangkap pimpinan) dan juga Ketua DPR saat itu Marzuki Ali dan pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR yaitu Melchias Marcus Mekeng (Partai Golkar) selaku ketua banggar, Wakil Ketua Banggar Mirwan Amir (Partai Demokrat) dan Olly Dondokambe (PDI-Perjuangan) serta Tamsil Linrung (PKS).
Masih ada pembagian uang untuk seluruh anggota Komisi II DPR dengan rincian (1) Ketua Komisi II DPR sejumlah 30 ribu dolar AS, (2) 3 Wakil Ketua Komisi II DPR masing-masing 20 ribu dolar AS, (3) 9 orang Ketua kelompok Fraksi Komisi II DPR masing-masing 15 ribu dolar AS, (4) 37 orang anggota komisi II DPR masing-masing 5 ribu dolar AS sampai 10 ribu dolar AS.
Tidak hanya individu, partai juga kebagian aliran dana KTP-E yaitu Partai Golkar sejumlah Rp150 miliar, Partai Demokrat sejumlah Rp150 miliar, PDI Perjuangan sejumlah Rp80 miliar
Uang juga mengalir kepada para pejabat Kemendagri yang mengurus pengadaan KTP-E yaitu Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Irman, Sugiharto serta staf Kemendagri, auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Staf Sekretariat Komisi II DPR, staf Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), staf Kementerian Keuangan, panitia pengadaan KTP-E, hingga Deputi bidang Politik dan Keamanan Sekretariat Kabinet.
Uang tersebut berasal dari perusahaan rekanan yang diserahkan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Selanjutnya, dalam proses lelang dan pengadaan diatur oleh Irman, Sugiharto dan diinisiasi oleh Andi Agustinus yang membentuk tim Fatmawati yang melakukan sejumlah pertemuan di ruko Fatmawati milik Andi Agustinus.
Setelah beberapa pertemuan, disepakati oleh Irman, Sugiharto, Andi Agustinus dan Diah Anggraini selaku Sekjen Kemendagri sebagai berikut:
Pertama, proses pelelangan akan diarahkan untuk memenangkan konsorsium PNRI. Untuk itu dibentuk pula konsorsium Astagraphia dan konsorsium Murakabi Sejahtera sebagai peserta pendamping.
Kedua, melakukan pemecahan tim menjadi 3 tim peserta lelang yaitu: Konsorsium PNRI yang terdiri dari Perum PNRI, PT Len Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, PT Sandipala Artha Putra;
Selanjutnya konsorsium Astragraphia yang terdiri dari PT Astra Graphia IT, PT Sumber Cakung, PT Trisaksi Mustika Graphika, PT Kwarsa Hexagonal; dan Konsortium Murakabi Sejahtera yang terdiri dari PT Murakabi, PT Jama Trade, PT Aria Multi Graphia dan PT Stacopa.
Ketiga, menugaskan Johanes untuk membuat sistem dengan konfigurasi KTP-E disinkronkan dengan produk-produk tertentu dari vendor yaitu (1) Software Data Base dari ORACLE, (2) Software AFIS dari L-1, (3) Hardware Data Base dari PC dan HP, (4) Software Windows dari Microsoft dan (5) Chip dari NXP.
Dalam proses lelang, akhirnya diketahui berdasarkan serangkaian evaluasi teknis uji coba alat dan output bahwa tidak ada peserta lelang (konsorsium) yang dapat mengintegrasikan Key Managemen Server (KMS) dengan Hardware Security Module (HMS) sehingga tidak dapat dipastikan perangkat tersebut memenuhi kriteria keamanan wajib.
“Namun para terdakwa tetap memerintahkan Drajat Wisnu Setyawan dan Husni Fahmi melanutkan proses lelang sehingga konsorsium PNRI dan konsorsium Astragraphia dinyatakan lulus,” tambah jaksa.
Rincian pekerjaannya adalah pada 2011 sejumlah Rp2,262 triliun untuk blangko KTP berbasis chip sebanyak 67.015.400 keping di 197 kabupaten/kota dan pada 2012 senilai Rp3,579 triliun untuk 105 ribu blangko KTP berbasis chip di 300 kabupaten/kota.
Sampai akhir pelaksanaan pekerjaan yaitu 31 Desember 2013, blankto KTP-E hanya sejumlah 122.109.759 keping, di bawah target pekerjaan dalam kontrak yaitu pengadaan, personalisasi dan distribusi sebanyak 172.015.400 keping blangko KTP-E.
“Meski pekerjaan tidak memenuhi target dan tidak sesuai kontrak, para terdakwa justru memerintahkan panitia pemeriksa dan penerima hasil membuat berita acara yang disesuaikan dengan target dalam kontrak sehingga seolah-olah konsorsium PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai target,” ungkap jaksa.
Konsorsium PNRI pun mendapat pembayaran secara bertahap yaitu Rp4,917 triliun yang dilakukan secara bertahap mulai 21 Oktober 2011 sampai 30 Desember 2013.
Rangkaian perbuatan tersebut memperkaya Irman dan Sugiharto yaitu Irman sejumlah Rp2,371 miliar, 877,7 ribu dolar AS dan 6 ribu dolar Singapura serta memperkaya Sugiharto II sejumlah 3.473.830 dolar AS dan juga memperkaya orang lain dan korporasi.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. [AW/Antara]